 |
Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.447, Rubrik Komcil
Januari 2018 |
”Hei, cepat ambilkan
bajuku!!!” jerit Putri Ayunida dengan kedua tangan berada di
pinggang. Di depannya seorang pelayan berlari terbirit-birit.
Ayunida adalah putri
satu-satunya Raja Arifin. Ia
cantik dan pintar, namun sayangnya sombong. Ia tidak mau bermain
dengan gadis-gadis seumurnya yang kumal. Ia benci menjejakkan kakinya di
rumah-rumah kecil yang kumuh, ia bahkan menolak membantu ayahnya mengunjungi
rakyat yang sedang sakit.
Sore itu Rariri, penyihir Kerajaan, melihat Raja duduk termenung.
“Ada apakah, Baginda?”
Raja melihat ke arah penyihir
tua itu dan tersenyum lelah, “Aku sungguh sedih, Rari. Aku begitu menyayangi putriku juga
rakyatku. Namun Ayunida
selalu menolak untuk membantu rakyat.”
Tiba-tiba, muncullah ide di
kepala Rariri, “Ah, tunggulah, Raja. Saya punya ramuan istimewa!” Maka, dengan penuh semangat Rariri melesat menuju hutan di
belakang istana.
Sambil bersenandung, Rariri mengambil beberapa helai daun mint, sebotol embun pagi,
sebatang tebu, dan terakhir satu buah delima matang
berwarna merah segar. Semuanya itu ia masukkan ke dalam kantung.
Begitu sampai di pondok, Rariri segera mengeluarkan kuali dan menjerang air. Ia memasukkan satu per satu bahan.
”Daun mint untuk kebijaksanaan, embun pagi untuk ketenangan hati, air tebu untuk sikap manis, dan terakhir, buah
delima sebagai penyempurna. Hmm...hm...hmm...,” senandungnya.
Rariri mengaduk ramuan itu dengan lembut, sabar, dan cermat. Ia lalu menuangnya ke
dalam cetakan bulat dan mendinginkannya.
***
”Apa rencanamu Senin ini,
Sayang? Ayah dengar ada lomba seluncur lumpur di desa,” tanya Raja saat sarapan pagi.
Ayunida bergidik jijik. ”Aku
akan bermain piano di istana saja, Ayah.”
Raja menghela nafas sedih.
Lalu, ia mengeluarkan kantung hijau zamrud pemberian Rariri.
”Apa itu, Ayah?” Ayunida
mencondongkan tubuh penuh minat. ”Permen?”
”Ya. Ayah akan memberimu satu.”
Ayunida amat gembira, matanya
berbinar menatap bulatan hijau yang berkilau di tangannya. Rasanya pasti
menyegarkan! Dan benar saja, permen itu lembut mencair di mulutnya, memberikan rasa manis yang sempurna seperti
udara pagi yang berembun. Dan tiba-tiba saja Ayunida merasakan
semangat dan kegembiraan yang luar biasa. Dikecupnya pipi sang Ayah,
”Aku akan bermain dulu, Ayah! Terima kasih untuk sarapannya yang lezat, Anton,” kata Ayunida ketika melesat melewati Anton. Koki Istana itu tertegun
bingung, sementara Raja tersenyum senang.
Malam harinya, Ayunida bercerita bagaimana
ia bermain dengan teman-teman
sebayanya, berkejar-kejaran di atas lumpur, dan menghabiskan sore di rumah
Alita yang mungil.
”Dan bayangkan, Ayah, rumah Alita yang kecil jadi penuh sesak gara-gara kami! Lalu, kami berebut roti lapis! Ibu Alita sampai harus berjanji akan membuatkan kami lagi
di lain kesempatan,” Ayunida tertawa geli mengenang pengalamannya hari itu.
Raja pun ikut gembira.
***
Maka, setiap pagi Raja
memberikan satu per satu butiran permennya. Setiap hari pula, Ayunida begitu
gembira dan mulai melakukan satu demi satu kebaikan.
Pada hari Selasa, Ayunida menolong
anak rusa yang terjepit di hutan. Hari Rabu, ia dan anak-anak desa bersukaria berpiknik
di tepi sungai. Pada hari Kamis, Ayunida
membantu seorang nenek tua membawa belanjaan. Di hari Jumat, Ayunida dan
teman-teman membuat kue untuk Ruli, seorang anak desa yang berulang tahun. Dan di
hari Sabtu, Ayunida mengunjungi
rumah sakit. Ia akan bernyanyi untuk rakyat yang sedang dirawat, membacakan buku, atau sekedar menemani mereka
mengobrol.
Rakyat menyanjung segala
kebaikan dan kerendahan hati yang selalu Putri mereka lakukan. Kabar ini sampai ke istana. Raja begitu
bangga mendengarnya. Kebahagiaannya terasa sempurna.
Namun pada hari minggu, pandangan
Raja berhenti pada kantung hijau zamrud di hadapannya. Celaka dua belas, isinya
telah habis! Ia lupa meminta lagi kepada Rariri! Apa yang akan terjadi?
Maka pagi itu, Raja mengamati
Ayunida dengan cemas.
”Ayah, aku akan menolong Rubi melahirkan hari ini!” cerita Ayunida dengan sangat bersemangat. Rubi adalah rubah yang ia temukan di hutan bersama teman-teman.
”Lalu, Alita akan mengajariku
menjahit baju, kami akan membuat baju untuk anak-anak Desa Senandung. Ayah tahu, baju mereka banyak yang robek,” tambahnya lagi.
Raja menatap Ayunida dengan
bahagia. Putrinya tidak berubah!
Sepeninggalan Ayunida, Raja
berjalan ke pondok Rariri. Penyihir itu sedang menuang susu untuk
kucing hitam kesayangannya. Raja langsung menceritakan kehebatan permen itu serta kebaikan yang dilakukan oleh Ayunida.
“Pagi ini permen itu habis,
namun putriku tidak berubah,” ucap Raja bangga.
”Ya ya...tidak butuh terlalu
banyak permen. Putri telah terbiasa melakukan kebaikan,” Rariri berkata bijak sambil
mengedipkan mata.
***