![]() |
Cerita ini telah dimuat di Majalah Bobo, 26 April 2018 |
Waktu istirahat sudah berlangsung selama 10 menit. Gilang tetap duduk di bangkunya. Ia tak menghiraukan obrolan teman-teman di sekitarnya. Gilang lebih memilih membaca buku. Seminggu yang lalu, Gilang pindah ke sekolah Anak Bangsa. Pekerjaan ayahnya di perkebunan sawit membuat Gilang sering berpindah tempat tinggal. Biasanya kalau ada lahan baru yang akan dijadikan wilayah perkebunan. Sebenarnya, Gilang sudah terbiasa hidup berpindah-pindah. Namun kali ini ada yang berbeda. Keluarga mereka memutuskan pindah di tengah-tengah semester. Itu berarti, semua anak di kelas barunya sudah memiliki teman. Tidak ada yang peduli pada Gilang. Tapi tidak apa-apa, Gilang pun tak butuh mereka! Toh, tak lama lagi Ayah akan mengajak mereka pindah.
Suara gelak tawa di
sampingnya membuat Gilang mengangkat kepala. Ia melihat Bima, Arya, dan Sadewa
sedang asyik bercerita.
“Mamaku tanya, kapan
kamu main ke rumahku? Dia mau bikin es krim tape. Itu loh, kesukaanmu dari kecil!” kata Sadewa nyaring
sambil mengedipkan sebelah matanya.
Arya berdecak, “Wuih,
Mamamu masih ingat saja kesukaanku?! Besok, gimana?”
Sadewa bersorak. Ia
lalu merangkul bahu Arya akrab. Terakhir, Bima ikut bergabung dalam rangkulan
tersebut. Tiba-tiba, Gilang merasa iri. Ia tidak pernah memiliki sahabat sejak
kecil. Pasti rasanya menyenangkan memiliki seseorang yang sangat mengenal
dirinya. Gilang mendesah. Untuk pertama kalinya ia ingin memiliki seorang
sahabat.
“Hai, mau ikut
mengobrol sama kami?” tiba-tiba Bima menyapanya dengan ramah. Rupanya anak
lelaki itu melihat Gilang memperhatikan mereka. Pipi Gilang terasa panas.
Rasanya malu sekali ketahuan menguping. Terlebih lagi, Gilang tidak suka
dikasihani. Maka, alih-alih sopan, Gilang justru menjawab ketus.
“Tidak usah!” Ia lalu
kembali menekuni buku di hadapannya.
Namun Bima mengabaikan
jawaban Gilang. “Kalau begitu, pulang sekolah nanti mau pulang bersamaku?”
Kemarahan Gilang
memuncak. Sekarang jelas sudah kalau Bima mengasihaninya! Kalau tidak, mengapa
baru sekarang ia menyapa bahkan mengajak pulang bersama? Lagipula, bukankah ia
sudah memiliki Arya dan Sadewa?
“Jangan ganggu aku!”
desis Gilang tajam.
Jawaban itu membuat
Bima kaget. Dengan sedih, Bima mengangguk dan meninggalkan meja Gilang.
***
Gilang menatap langit
mendung dari balik jendela kelas. Hujan masih turun dengan deras. Membuat
suasana hati Gilang semakin muram. Apalagi setiap kali ia teringat sikapnya
terhadap Bima. Duh, betapa Gilang menyesal telah membentaknya. Padahal bukankah
Bima bermaksud baik?
“Hai,” terdengar suara
yang riang menyapanya, “Kamu juga belum pulang, Lang?” Bima berjalan
mendekatinya.
Belum sempat Gilang
menjawab, Bima sudah berkata lagi. “Mau pulang sama aku? Nih tadi aku pinjem
payung besar dari Pak Aji. Pasti muat buat kita berdua. Eh, rumahmu di jalan
Sekeliling 3 kan? Aku di Sekeliling 7,” katanya panjang lebar.
“Da_darimana kamu tahu
alamat rumahku?” tanya Gilang gugup. Ia tidak menyangka Bima tetap akan
bersikap ramah padanya.
Bima tersenyum. “Tahu,
dong. Aku memperhatikanmu sejak pertama kali kamu datang. Aku ingin menjadi
temanmu. Tapi, aku bingung bagaimana harus menyapamu. Habis, kamu selalu
menunduk dan membaca sih.”
“Ingin jadi temanku?”
tanya Gilang tak percaya. “Mengapa?”
Senyum Bima terlihat
semakin lebar. “Kamu pasti tidak akan percaya.” Ia lalu duduk di bangku sebelah
Gilang sebelum memulai ceritanya. “Ayahku juga bekerja di perkebunan sawit.
Baru setahun kami pindah kesini. Makanya ketika melihat sikapmu, aku tahu apa
yang kau rasakan. Aku sendiri sering iri melihat anak-anak lain yang memiliki
sahabat. Aku pikir, kita bisa jadi sahabat. Sahabat kecil!”
“Sahabat kecil?”
“Iya, sahabat kecil.
Kaya Arya dan Sadewa itu, loh! Mereka bersahabat sejak TK. Hebat, ya?”
Gilang terdiam. Tawaran
persahabatan Bima sungguh menyenangkan hatinya. Namun, bagaimana kalau ia harus
pindah lagi?
Seolah mengerti apa
yang Gilang pikirkan, Bima berkata, “Ayahku bilang, perkebunan di Kalimantan
ini akan sangat besar. Sudah tidak ada tanah tersisa di pulau lain. Jadi,
kemungkinan besar kita nggak akan pindah-pindah lagi.”
***
Memiliki seorang
sahabat memang menyenangkan! Bersama Bima, Gilang merasa dapat melakukan apa
saja. Dari mulai mempelajari rumus matematika yang sulit sampai menangkap belut
di sawah. Gilang pun dapat menceritakan apa saja pada sahabatnya tersebut. Dari
masakan Ibu yang gosong sampai keisengan Mayu, adik kecilnya. Namun, cerita
dari ayah yang paling bagus. Dengan tak sabar, Gilang berlari di sepanjang gang
Sekeliling 7. Sesampainya di rumah bercat biru milik Bima, Gilang berteriak
nyaring memanggil sahabatnya tersebut.
“Kamu benar!” Gilang
langsung berlari memeluk Bima. “Ayah bilang, kami nggak akan pindah-pindah
lagi. Kalimantan akan menjadi kebun terakhir di proyek Ayah!”
Gilang melepaskan
pelukannya untuk melihat reaksi Bima. Mata sahabat baiknya itu tampak berkilau
oleh air mata.
“Akhirnya, kita bisa
jadi sahabat kecil!”
Gilang mengangguk
mengiyakan. “Sampai kakek nenek!”
Kemudian Gilang
merangkul bahu Bima. Serempak, mereka mengacungkan satu tangan ke udara, lalu
berkata, “Hidup sahabat kecil!”
***
No comments:
Post a Comment