Monday 31 December 2018

Sahabat Kecil

Cerita ini telah dimuat di Majalah Bobo, 26 April 2018


Waktu istirahat sudah berlangsung selama 10 menit. Gilang tetap duduk di bangkunya. Ia tak menghiraukan obrolan teman-teman di sekitarnya. Gilang lebih memilih membaca buku. Seminggu yang lalu, Gilang pindah ke sekolah Anak Bangsa. Pekerjaan ayahnya di perkebunan sawit membuat Gilang sering berpindah tempat tinggal. Biasanya kalau ada lahan baru yang akan dijadikan wilayah perkebunan. Sebenarnya, Gilang sudah terbiasa hidup berpindah-pindah. Namun kali ini ada yang berbeda. Keluarga mereka memutuskan pindah di tengah-tengah semester. Itu berarti, semua anak di kelas barunya sudah memiliki teman. Tidak ada yang peduli pada Gilang. Tapi tidak apa-apa, Gilang pun tak butuh mereka! Toh, tak lama lagi Ayah akan mengajak mereka pindah.

Suara gelak tawa di sampingnya membuat Gilang mengangkat kepala. Ia melihat Bima, Arya, dan Sadewa sedang asyik bercerita.
“Mamaku tanya, kapan kamu main ke rumahku? Dia mau bikin es krim tape. Itu loh,  kesukaanmu dari kecil!” kata Sadewa nyaring sambil mengedipkan sebelah matanya.
Arya berdecak, “Wuih, Mamamu masih ingat saja kesukaanku?! Besok, gimana?”
Sadewa bersorak. Ia lalu merangkul bahu Arya akrab. Terakhir, Bima ikut bergabung dalam rangkulan tersebut. Tiba-tiba, Gilang merasa iri. Ia tidak pernah memiliki sahabat sejak kecil. Pasti rasanya menyenangkan memiliki seseorang yang sangat mengenal dirinya. Gilang mendesah. Untuk pertama kalinya ia ingin memiliki seorang sahabat.
“Hai, mau ikut mengobrol sama kami?” tiba-tiba Bima menyapanya dengan ramah. Rupanya anak lelaki itu melihat Gilang memperhatikan mereka. Pipi Gilang terasa panas. Rasanya malu sekali ketahuan menguping. Terlebih lagi, Gilang tidak suka dikasihani. Maka, alih-alih sopan, Gilang justru menjawab ketus.
“Tidak usah!” Ia lalu kembali menekuni buku di hadapannya.
Namun Bima mengabaikan jawaban Gilang. “Kalau begitu, pulang sekolah nanti mau pulang bersamaku?”
Kemarahan Gilang memuncak. Sekarang jelas sudah kalau Bima mengasihaninya! Kalau tidak, mengapa baru sekarang ia menyapa bahkan mengajak pulang bersama? Lagipula, bukankah ia sudah memiliki Arya dan Sadewa?
“Jangan ganggu aku!” desis Gilang tajam.
Jawaban itu membuat Bima kaget. Dengan sedih, Bima mengangguk dan meninggalkan meja Gilang.
***
Gilang menatap langit mendung dari balik jendela kelas. Hujan masih turun dengan deras. Membuat suasana hati Gilang semakin muram. Apalagi setiap kali ia teringat sikapnya terhadap Bima. Duh, betapa Gilang menyesal telah membentaknya. Padahal bukankah Bima bermaksud baik?
“Hai,” terdengar suara yang riang menyapanya, “Kamu juga belum pulang, Lang?” Bima berjalan mendekatinya.
Belum sempat Gilang menjawab, Bima sudah berkata lagi. “Mau pulang sama aku? Nih tadi aku pinjem payung besar dari Pak Aji. Pasti muat buat kita berdua. Eh, rumahmu di jalan Sekeliling 3 kan? Aku di Sekeliling 7,” katanya panjang lebar.
“Da_darimana kamu tahu alamat rumahku?” tanya Gilang gugup. Ia tidak menyangka Bima tetap akan bersikap ramah padanya.
Bima tersenyum. “Tahu, dong. Aku memperhatikanmu sejak pertama kali kamu datang. Aku ingin menjadi temanmu. Tapi, aku bingung bagaimana harus menyapamu. Habis, kamu selalu menunduk dan membaca sih.”
“Ingin jadi temanku?” tanya Gilang tak percaya. “Mengapa?”
Senyum Bima terlihat semakin lebar. “Kamu pasti tidak akan percaya.” Ia lalu duduk di bangku sebelah Gilang sebelum memulai ceritanya. “Ayahku juga bekerja di perkebunan sawit. Baru setahun kami pindah kesini. Makanya ketika melihat sikapmu, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku sendiri sering iri melihat anak-anak lain yang memiliki sahabat. Aku pikir, kita bisa jadi sahabat. Sahabat kecil!”
“Sahabat kecil?”
“Iya, sahabat kecil. Kaya Arya dan Sadewa itu, loh! Mereka bersahabat sejak TK. Hebat, ya?”
Gilang terdiam. Tawaran persahabatan Bima sungguh menyenangkan hatinya. Namun, bagaimana kalau ia harus pindah lagi?
Seolah mengerti apa yang Gilang pikirkan, Bima berkata, “Ayahku bilang, perkebunan di Kalimantan ini akan sangat besar. Sudah tidak ada tanah tersisa di pulau lain. Jadi, kemungkinan besar kita nggak akan pindah-pindah lagi.”
***
Memiliki seorang sahabat memang menyenangkan! Bersama Bima, Gilang merasa dapat melakukan apa saja. Dari mulai mempelajari rumus matematika yang sulit sampai menangkap belut di sawah. Gilang pun dapat menceritakan apa saja pada sahabatnya tersebut. Dari masakan Ibu yang gosong sampai keisengan Mayu, adik kecilnya. Namun, cerita dari ayah yang paling bagus. Dengan tak sabar, Gilang berlari di sepanjang gang Sekeliling 7. Sesampainya di rumah bercat biru milik Bima, Gilang berteriak nyaring memanggil sahabatnya tersebut.
“Kamu benar!” Gilang langsung berlari memeluk Bima. “Ayah bilang, kami nggak akan pindah-pindah lagi. Kalimantan akan menjadi kebun terakhir di proyek Ayah!”
Gilang melepaskan pelukannya untuk melihat reaksi Bima. Mata sahabat baiknya itu tampak berkilau oleh air mata.
“Akhirnya, kita bisa jadi sahabat kecil!”
Gilang mengangguk mengiyakan. “Sampai kakek nenek!”
Kemudian Gilang merangkul bahu Bima. Serempak, mereka mengacungkan satu tangan ke udara, lalu berkata, “Hidup sahabat kecil!”
***

No comments:

Post a Comment