Monday 31 December 2018

Terima Kasih, 2018!

buku terbit 2018
Hai, 2018...
terima kasih karena tidak pernah menyerah sepanjang tahun ini.
Dear, Kamu...
terima kasih sudah turut menjadi bagian dari perjalanan saya :)

Tahun ini sangat menyenangkan, karena selain bisa konsisten menulis satu seri cerita dan aktivitas untuk anak usia dini, impian selama ini bisa terbit novel dan pictbook pun terwujud!
Aseli, tahun ini jadinya banyak sekali belajar hal-hal baru, terutama yang terkait penulisan novel dan pictbook, berikut proses terbitnya.

Dan bersama "Berapa Umur Bumi," saya mengenal banyak orang dan lembaga baru. Tahun yang menyenangkan!

Selamat menutup tahun 2018 bersama orang-orang tersayangmu.
Sampai jumpa lagi di tahun 2019!
\(^0^)/


Sahabat Kecil

Cerita ini telah dimuat di Majalah Bobo, 26 April 2018


Waktu istirahat sudah berlangsung selama 10 menit. Gilang tetap duduk di bangkunya. Ia tak menghiraukan obrolan teman-teman di sekitarnya. Gilang lebih memilih membaca buku. Seminggu yang lalu, Gilang pindah ke sekolah Anak Bangsa. Pekerjaan ayahnya di perkebunan sawit membuat Gilang sering berpindah tempat tinggal. Biasanya kalau ada lahan baru yang akan dijadikan wilayah perkebunan. Sebenarnya, Gilang sudah terbiasa hidup berpindah-pindah. Namun kali ini ada yang berbeda. Keluarga mereka memutuskan pindah di tengah-tengah semester. Itu berarti, semua anak di kelas barunya sudah memiliki teman. Tidak ada yang peduli pada Gilang. Tapi tidak apa-apa, Gilang pun tak butuh mereka! Toh, tak lama lagi Ayah akan mengajak mereka pindah.

Suara gelak tawa di sampingnya membuat Gilang mengangkat kepala. Ia melihat Bima, Arya, dan Sadewa sedang asyik bercerita.
“Mamaku tanya, kapan kamu main ke rumahku? Dia mau bikin es krim tape. Itu loh,  kesukaanmu dari kecil!” kata Sadewa nyaring sambil mengedipkan sebelah matanya.
Arya berdecak, “Wuih, Mamamu masih ingat saja kesukaanku?! Besok, gimana?”
Sadewa bersorak. Ia lalu merangkul bahu Arya akrab. Terakhir, Bima ikut bergabung dalam rangkulan tersebut. Tiba-tiba, Gilang merasa iri. Ia tidak pernah memiliki sahabat sejak kecil. Pasti rasanya menyenangkan memiliki seseorang yang sangat mengenal dirinya. Gilang mendesah. Untuk pertama kalinya ia ingin memiliki seorang sahabat.
“Hai, mau ikut mengobrol sama kami?” tiba-tiba Bima menyapanya dengan ramah. Rupanya anak lelaki itu melihat Gilang memperhatikan mereka. Pipi Gilang terasa panas. Rasanya malu sekali ketahuan menguping. Terlebih lagi, Gilang tidak suka dikasihani. Maka, alih-alih sopan, Gilang justru menjawab ketus.
“Tidak usah!” Ia lalu kembali menekuni buku di hadapannya.
Namun Bima mengabaikan jawaban Gilang. “Kalau begitu, pulang sekolah nanti mau pulang bersamaku?”
Kemarahan Gilang memuncak. Sekarang jelas sudah kalau Bima mengasihaninya! Kalau tidak, mengapa baru sekarang ia menyapa bahkan mengajak pulang bersama? Lagipula, bukankah ia sudah memiliki Arya dan Sadewa?
“Jangan ganggu aku!” desis Gilang tajam.
Jawaban itu membuat Bima kaget. Dengan sedih, Bima mengangguk dan meninggalkan meja Gilang.
***
Gilang menatap langit mendung dari balik jendela kelas. Hujan masih turun dengan deras. Membuat suasana hati Gilang semakin muram. Apalagi setiap kali ia teringat sikapnya terhadap Bima. Duh, betapa Gilang menyesal telah membentaknya. Padahal bukankah Bima bermaksud baik?
“Hai,” terdengar suara yang riang menyapanya, “Kamu juga belum pulang, Lang?” Bima berjalan mendekatinya.
Belum sempat Gilang menjawab, Bima sudah berkata lagi. “Mau pulang sama aku? Nih tadi aku pinjem payung besar dari Pak Aji. Pasti muat buat kita berdua. Eh, rumahmu di jalan Sekeliling 3 kan? Aku di Sekeliling 7,” katanya panjang lebar.
“Da_darimana kamu tahu alamat rumahku?” tanya Gilang gugup. Ia tidak menyangka Bima tetap akan bersikap ramah padanya.
Bima tersenyum. “Tahu, dong. Aku memperhatikanmu sejak pertama kali kamu datang. Aku ingin menjadi temanmu. Tapi, aku bingung bagaimana harus menyapamu. Habis, kamu selalu menunduk dan membaca sih.”
“Ingin jadi temanku?” tanya Gilang tak percaya. “Mengapa?”
Senyum Bima terlihat semakin lebar. “Kamu pasti tidak akan percaya.” Ia lalu duduk di bangku sebelah Gilang sebelum memulai ceritanya. “Ayahku juga bekerja di perkebunan sawit. Baru setahun kami pindah kesini. Makanya ketika melihat sikapmu, aku tahu apa yang kau rasakan. Aku sendiri sering iri melihat anak-anak lain yang memiliki sahabat. Aku pikir, kita bisa jadi sahabat. Sahabat kecil!”
“Sahabat kecil?”
“Iya, sahabat kecil. Kaya Arya dan Sadewa itu, loh! Mereka bersahabat sejak TK. Hebat, ya?”
Gilang terdiam. Tawaran persahabatan Bima sungguh menyenangkan hatinya. Namun, bagaimana kalau ia harus pindah lagi?
Seolah mengerti apa yang Gilang pikirkan, Bima berkata, “Ayahku bilang, perkebunan di Kalimantan ini akan sangat besar. Sudah tidak ada tanah tersisa di pulau lain. Jadi, kemungkinan besar kita nggak akan pindah-pindah lagi.”
***
Memiliki seorang sahabat memang menyenangkan! Bersama Bima, Gilang merasa dapat melakukan apa saja. Dari mulai mempelajari rumus matematika yang sulit sampai menangkap belut di sawah. Gilang pun dapat menceritakan apa saja pada sahabatnya tersebut. Dari masakan Ibu yang gosong sampai keisengan Mayu, adik kecilnya. Namun, cerita dari ayah yang paling bagus. Dengan tak sabar, Gilang berlari di sepanjang gang Sekeliling 7. Sesampainya di rumah bercat biru milik Bima, Gilang berteriak nyaring memanggil sahabatnya tersebut.
“Kamu benar!” Gilang langsung berlari memeluk Bima. “Ayah bilang, kami nggak akan pindah-pindah lagi. Kalimantan akan menjadi kebun terakhir di proyek Ayah!”
Gilang melepaskan pelukannya untuk melihat reaksi Bima. Mata sahabat baiknya itu tampak berkilau oleh air mata.
“Akhirnya, kita bisa jadi sahabat kecil!”
Gilang mengangguk mengiyakan. “Sampai kakek nenek!”
Kemudian Gilang merangkul bahu Bima. Serempak, mereka mengacungkan satu tangan ke udara, lalu berkata, “Hidup sahabat kecil!”
***

Sunday 30 December 2018

Permen Istimewa Rariri

Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.447, Rubrik Komcil
Januari 2018


”Hei, cepat ambilkan bajuku!!!” jerit Putri Ayunida dengan kedua tangan berada di pinggang. Di depannya seorang pelayan berlari terbirit-birit.
Ayunida adalah putri satu-satunya Raja Arifin. Ia cantik dan pintar, namun sayangnya sombong. Ia tidak mau bermain dengan gadis-gadis seumurnya yang kumal. Ia benci menjejakkan kakinya di rumah-rumah kecil yang kumuh, ia bahkan menolak membantu ayahnya mengunjungi rakyat yang sedang sakit.
Sore itu Rariri, penyihir Kerajaan, melihat Raja duduk termenung.
“Ada apakah, Baginda?”
Raja melihat ke arah penyihir tua itu dan tersenyum lelah, “Aku sungguh sedih, Rari. Aku begitu menyayangi putriku juga rakyatku. Namun Ayunida selalu menolak untuk membantu rakyat.
Tiba-tiba, muncullah ide di kepala Rariri, “Ah, tunggulah, Raja. Saya punya ramuan istimewa!” Maka, dengan penuh semangat Rariri melesat menuju hutan di belakang istana.
Sambil bersenandung, Rariri mengambil beberapa helai daun mint, sebotol embun pagi, sebatang tebu, dan terakhir satu buah delima matang berwarna merah segar. Semuanya itu ia masukkan ke dalam kantung.
Begitu sampai di pondok, Rariri segera mengeluarkan kuali dan menjerang air. Ia memasukkan satu per satu bahan.
”Daun mint untuk kebijaksanaan, embun pagi untuk ketenangan hati, air tebu untuk sikap manis, dan terakhir, buah delima sebagai penyempurna. Hmm...hm...hmm..., senandungnya.
Rariri mengaduk ramuan itu dengan lembut, sabar, dan cermat. Ia lalu menuangnya ke dalam cetakan bulat dan mendinginkannya.
***
”Apa rencanamu Senin ini, Sayang? Ayah dengar ada lomba seluncur lumpur di desa,” tanya Raja saat sarapan pagi.
Ayunida bergidik jijik. ”Aku akan bermain piano di istana saja, Ayah.
Raja menghela nafas sedih. Lalu, ia mengeluarkan kantung hijau zamrud pemberian Rariri.
”Apa itu, Ayah?” Ayunida mencondongkan tubuh penuh minat. ”Permen?”
”Ya. Ayah akan memberimu satu.”
Ayunida amat gembira, matanya berbinar menatap bulatan hijau yang berkilau di tangannya. Rasanya pasti menyegarkan! Dan benar saja, permen itu lembut mencair di mulutnya, memberikan rasa manis yang sempurna seperti udara pagi yang berembun. Dan tiba-tiba saja Ayunida merasakan semangat dan kegembiraan yang luar biasa. Dikecupnya pipi sang Ayah,
”Aku akan bermain dulu, Ayah! Terima kasih untuk sarapannya yang lezat, Anton,” kata Ayunida ketika melesat melewati Anton. Koki Istana itu tertegun bingung, sementara Raja tersenyum senang.
Malam harinya, Ayunida bercerita bagaimana ia bermain dengan teman-teman sebayanya, berkejar-kejaran di atas lumpur, dan menghabiskan sore di rumah Alita yang mungil.
”Dan bayangkan, Ayah, rumah Alita yang kecil jadi penuh sesak gara-gara kami! Lalu, kami berebut roti lapis! Ibu Alita sampai harus berjanji akan membuatkan kami lagi di lain kesempatan,” Ayunida tertawa geli mengenang pengalamannya hari itu. Raja pun ikut gembira.
***
Maka, setiap pagi Raja memberikan satu per satu butiran permennya. Setiap hari pula, Ayunida begitu gembira dan mulai melakukan satu demi satu kebaikan.
Pada hari Selasa, Ayunida menolong anak rusa yang terjepit di hutan. Hari Rabu, ia dan anak-anak desa bersukaria berpiknik di tepi sungai.  Pada hari Kamis, Ayunida membantu seorang nenek tua membawa belanjaan. Di hari Jumat, Ayunida dan teman-teman membuat kue untuk Ruli, seorang anak desa yang berulang tahun. Dan di hari Sabtu, Ayunida mengunjungi rumah sakit. Ia akan bernyanyi untuk rakyat yang sedang dirawat,  membacakan buku, atau sekedar menemani mereka mengobrol.
Rakyat menyanjung segala kebaikan dan kerendahan hati yang selalu Putri mereka lakukan. Kabar ini sampai ke istana. Raja begitu bangga mendengarnya. Kebahagiaannya terasa sempurna.
Namun pada hari minggu, pandangan Raja berhenti pada kantung hijau zamrud di hadapannya. Celaka dua belas, isinya telah habis! Ia lupa meminta lagi kepada Rariri! Apa yang akan terjadi?
Maka pagi itu, Raja mengamati Ayunida dengan cemas.
Ayah, aku akan menolong Rubi melahirkan hari ini!” cerita Ayunida dengan sangat bersemangat. Rubi adalah rubah yang ia temukan di hutan bersama teman-teman.
”Lalu, Alita akan mengajariku menjahit baju, kami akan membuat baju untuk anak-anak Desa Senandung. Ayah tahu, baju mereka banyak yang robek,” tambahnya lagi.
Raja menatap Ayunida dengan bahagia. Putrinya tidak berubah!
Sepeninggalan Ayunida, Raja berjalan ke pondok Rariri. Penyihir itu sedang menuang susu untuk kucing hitam kesayangannya. Raja langsung menceritakan kehebatan permen itu serta kebaikan yang dilakukan oleh Ayunida.
“Pagi ini permen itu habis, namun putriku tidak berubah,” ucap Raja bangga.
”Ya ya...tidak butuh terlalu banyak permen. Putri telah terbiasa melakukan kebaikan,” Rariri berkata bijak sambil mengedipkan mata.
***

Friday 21 December 2018

Ulang Tahun Kalos

Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.457, Rubrik Komcil,
November 2018

Kalos akan berulang tahun. Para hewan di kandang sedang merencanakan pesta untuknya.
“Kalos pasti akan terkejut ketika datang dari Bukit Pater besok.”
Para hewan pun lalu berbagi tugas.
Keesokan harinya, semua hewan telah bangun pagi-pagi benar. Para ayam mengumpulkan telur-telur terbaik. Mereka membuat bolu ulang tahun paling lembut di Pastura dan aneka kue cantik lainnya. Kawanan sapi mengeluarkan susu segar yang gurih. Mereka kemudian menambahkan stoberi, pisang, juga madu untuk menghasilkan minuman sehat dan menyegarkan bagi Kalos. Kelompok babi pun tak mau kalah. Mereka begitu sibuk menata kandang agar indah saat Kalos datang. Ada yang memasang tirai daun, merangkai bunga untuk diletakkan di ambang-ambang jendela, juga menyiapkan peralatan makan.
Ketika Kalos terlihat di ujung jalan, hanya Ovis, Bovi, dan Caprin yang menyadarinya. Mereka berlari gembira menyambut kedatangan Kalos.
“Mbek,” sapa Caprin manja.
“Mbek, mbeeek,” Bovi berseru tak mau kalah. Sementara Ovis menanduk Kalos penuh sayang.
Ketiga domba duduk bersama Kalos. Mereka mendengarkan ceritanya selama seminggu tinggal di Bukit Pater. Selama waktu bercerita tersebut, para ayam hilir mudik mengantar aneka kue. Para sapi pun terus menambahkan minuman di gelas-gelas yang kosong. Sementara para babi masih sibuk membereskan ruangan.
“Apakah kalian hanya akan duduk bersama Kalos saja?” tiba-tiba seekor babi datang dengan wajah merah karena marah. Keringat mengalir deras di keningnya. Lebih baik kalian membantu kami membereskan tempat ini!”
Sebelum Bovi, Caprin, atau Ovis sempat menjawab, Kalos berkata, “Mengapa kamu tidak ikut duduk bersamaku?” Ia lalu memandang para hewan di sekelilingnya. “Kalian sibuk sekali sampai-sampai tidak menyadari kedatanganku dan tidak ikut mendengarkan ceritaku.”
Seketika semua hewan langsung menghentikan pekerjaan mereka. Apalagi ketika mereka membaca kesedihan di wajah Kalos. Mereka menyadari bahwa bukan makanan, minuman, atau tempat indah yang Kalos inginkan. Ia hanya ingin dekat bersama mereka.
Maka, semua hewan pun meninggalkan pekerjaan mereka. Sekali lagi, Kalos menceritakan perjalanan ke Bukit Pater. Kali ini cerita lebih seru dan riuh dengan tawa karena semua hewan ikut serta.
Oh ya, di akhir hari, para hewan tentu saja tak lupa mengucapkan selamat ulang tahun untuk Kalos. Dan tahukah kamu, apa jawaban Tuan Penggembala itu?
“Terima kasih semuanya, ini ulang tahun terbaik!”
Kamu juga setuju, bukan?


Thursday 20 December 2018

Caprin Ingin Pindah

Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.455, Rubrik Komcil,
September 2018

Seperti biasa, Kalos membawa kawanan dombanya ke Pastura. Di sana, Caprin asyik mendengarkan cerita kawanan domba Ethan.
“Pintu kandang mereka selalu terbuka! Mereka bebas bermain kapanpun mereka ingin!” cerita Caprin penuh semangat. “Tidak seperti Kalos yang hanya mengijinkan kita keluar di pagi hari.”
Ovis dan Bovi saling memandang. “Kau tentu masih ingat ketika kau mencoba bermain di sore hari kan, Caprin?”
Pipi Caprin bersemu teringat serigala merah yang mengejarnya. “Tak hanya itu!” katanya mengalihkan pembicaraan. “Mereka bisa makan setiap waktu. Dan coba bayangkan ini, tak hanya rumput dan jagung, terkadang sisa kue-kue manis!”
Ovis mengernyit. “Aku benci makanan sisa.”
“Aku menyukai rumput dan jagung,” kata Bovi.
“Ah kalian memang payah! Kandang ini membosankan! Aku ingin pindah!”
Caprin mengutarakan keinginannya siang itu kepada Kalos.  Meski terlihat sedih, Kalos mengangguk mengijinkan.
“Kau bisa kembali kapanpun kau mau,” pesan Kalos.
Sore itu juga, Caprin meninggalkan kandang.
Caprin senang sekali ketika tiba di kandang Ethan. Matanya langsung tertuju pada tumpukan makanan yang berlimpah. Caprin mengunyah dan terus mengunyah. Ia baru berhenti ketika ia tak mampu menelan lagi.
Setelah itu, ia bermain di luar bersama domba-domba lain. Ketika malam tiba, Caprin memasuki kandang barunya dengan amat lelah. Tak hanya kakinya yang sakit, tetapi juga perutnya.
Seolah belum cukup menderita, matanya menatap awas ke arah pintu yang terbuka. Caprin sungguh takut serigala akan memangsa saat mereka semua tertidur.
 “Kalos pasti akan menemani kalau tahu aku sakit,” rintihnya.  
“Jangan cengeng!” hardik salah satu domba. “Ethan memiliki banyak hal lain untuk dikerjakan!”
Malam itu, Caprin sangat merindukan Kalos.
***
Pagi-pagi benar Caprin berlari pulang. Ia menanduk lembut Kalos yang sedang menyiram tanaman.
“Kau kembali!” seru Kalos terkejut. “Hei, kau tidak terlihat sehat. Perutmu kembung, Caprin. Apa kau kesakitan sepanjang malam?”
Caprin mengembik lirih.
Kalos membuat minum dari gula merah dan asam jawa, minuman yang selalu ia buat setiap kali salah satu dari mereka sakit perut.
 “Tidurlah,” kata Kalos sambil mengurut lembut perutnya.
Sebelum beranjak, Kalos menutup pintu kandang rapat-rapat. Sekali lagi ia memastikan ketiga dombanya aman. “Semoga kau cepat sembuh, Caprin,” bisiknya.
Tak butuh waktu lama, Caprin pun jatuh tertidur. Kalos memang yang terbaik! Caprin tak akan berpikir untuk pindah lagi.


Wednesday 19 December 2018

Bovi dan Perjalanan Penuh Bahaya

Cerpen ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.453, Rubrik Komcil,
Juli 2018

Kalos sedang berahasia, Bovi tahu. Sudah beberapa hari tuannya itu pergi tanpa membawa Bovi, Caprin, atau pun Ovis.
Suatu hari, Kalos mendatangi mereka. Matanya berbinar saat berkata, “Kita akan pergi ke Padang Ranum!”
Ovis melompat girang, Caprin mengembik senang, sementara Bovi menanduk Kalos penuh sayang. Kalos segera menaikkan ketiga domba ke atas kereta, menarik dua ekor kuda, dan memasang pelan.
“Perjalanan ini cukup jauh,” kata Kalos sambil mengelus kepala Bovi. “Kita akan melewati rute berbeda. Duduklah dengan tenang. Apapun yang terjadi, percayalah padaku.” Di akhir pesan, Kalos menepuk kepala Ovis dan Caprin sebelum menuju ke bangku kusir.
Kereta melesat cepat! Bovi dapat merasakan angin menderu di telinga. Caprin memandangnya panik. Ovis sendiri mulai bergerak-gerak dalam duduknya.
“Tenanglah,” seru Bovi. Matanya sekelebat membaca “Lubang Serigala” pada gua yang mereka lewati.
Kereta mulai melambat. Ovis dan Caprin mendesah lega. Namun rupanya tidak lama. Sejurus kemudian, kereta bergoyang kencang! Seolah ada raksaksa yang mengguncangkannya! 
“Jja_llan bbber_bbba_ttu!” Bovi memperingati kedua temannya. “Ddu_dukk dd_an bber_ppep_ga_ga_ngan_lllah!”
“MBEEK!” Caprin mengembik panik. Bovi mengikuti pandangan ngeri domba berbulu coklat itu.
Dan kemudian, perjalanan mereka semakin berbahaya! Kereta meliuk-liuk miring menghindari lubang-lubang yang menganga!
“MBEEK! Aku ingin turun!!” teriak Ovis pucat pasi, disusul tangisan Caprin yang ketakutan setengah mati, “Mbeek! Mbeek! Mbeek!”
“Tenanglah! Tetaplah berpegangan,” sekali lagi Bovi mengingatkan. Ia sendiri mencengkeram kuat pinggiran kereta.
Namun Caprin dan Ovis tak tahan lagi. Ketika kereta kembali miring menghindari lubang, mereka melompat keluar! Sementara itu, Bovi tetap bertahan. Tak lama, matanya terbelalak kagum menatap padang kehijauan dan berbonggol-bonggol jagung.
“Kita sampai!” teriak Kalos. “Astaga, kita harus segera mencari kawan-kawanmu. Mereka pasti belum jauh.”
Tak perlu waktu lama untuk menemukan Ovis dan Caprin. Segera saja mereka menikmati rumput yang segar dan butiran jagung manis.
“Mengapa kau tidak ikut turun dari kereta?” tanya Ovis. Di sampingnya, Caprin menggoyangkan telinga ingin tahu juga.
Bovi menatap Kalos yang sedang berbaring nyaman. “Aku percaya pada Kalos. Ia menyayangi kita. Ia pasti menjaga kita.”
Setelah Kalos mendapat cukup istirahat, mereka bersiap pulang. Kali ini, Ovis dan Caprin berjanji untuk duduk diam dan bersikap tenang. Mereka berada di tengah perjalanan ketika Kalos berbalik dan berseru, “Astaga! Mereka sungguh tidak bisa tenang.”
Bovi mengembik setuju. Kalos mengedipkan matanya. Mereka menatap Caprin dan Ovis yang tertidur pulas sambil mendengkur keras. 

Tuesday 18 December 2018

Ketika Ovis Tersesat

Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No.451, Rubrik Komcil,
Mei 2018

Hari itu Ovis bangun pagi sekali. Ia akan pergi ke Padang Jagung, tak jauh di samping Pastura. Meski telah mengembik berkali-kali, Kalos tak pernah membawa mereka ke sana. Maka, Ovis akan pergi sendiri saja.
Ovis mengendap perlahan melewati Bovi dan Caprin yang tertidur. Ia membuka pagar kandang perlahan, lalu melesat cepat ke dalam hutan. Matahari belum terlihat. Tapi tak mengapa, Ovis akan pergi sebentar saja. Ketika matahari terbit nanti, ia sudah akan kembali ke kandang.
Setelah beberapa lama berjalan, Ovis berhenti di jalan bercabang. Itu berarti, Pastura tak jauh lagi, begitu pula Padang Jagung. Namun, gelapnya pagi membuat Ovis bingung.
“Jalan mana yang biasa dipilih Kalos?” pikir Ovis. “Kiri atau kanan?”
Ovis memutuskan mengambil jalan kanan. Namun sampai kakinya terasa lelah, Pastura tidak juga terlihat. Apalagi Padang Jagung. Ovis mulai ketakutan. Ia mendengar suara-suara hewan yang asing di telinga. Oh, ia pasti tersesat! Apa yang harus ia lakukan?
Lebih baik ia kembali ke kandang. Ovis pun mengikuti jejak kakinya yang samar tercetak di tanah. Tapi…Oh! Rasanya ia tidak melewati pohon berlubang besar ini!
“UHU!”
Ovis terlonjak kaget. Seekor burung hantu hampir mengenai kepalanya!
 “Huhuhu… seandainya saja aku tidak meninggalkan Kalos,” sesal Ovis.
Tiba-tiba Ovis teringat, Kalos sangat memperhatikan mereka. Gembala itu pasti menyadari kepergiannya. Lebih dari itu, Kalos pasti akan mencarinya. Ya, Ovis yakin! Cepat-cepat, Ovis mengusap air mata dan menghentikan tangis. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menajamkan pendengaran.
Matahari mulai terlihat. Sinarnya yang hangat sedikit meredakan ketakutan Ovis. Tak lama terdengar sebuah suara memanggilnya, “Ovis…”
Ovis menegakkan telinganya.
“Oviiis…,” suara itu kembali memanggil.
Ovis segera berdiri dan mengembik keras, “MBEEEK!”
Langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Lalu sosok yang ditunggunya mulai terlihat.
Kalos!
“Di sini kau rupanya,” Kalos memeluknya. “Apakah kau ketakutan? Tenanglah, aku sudah menemukanmu.”
Dengan riang, Ovis mengikuti Kalos bersama Bovi dan Caprin. Saat melewati Padang Jagung, Ovis melihat bulir-bulir kuning keemasan yang tampak nikmat. Namun di balik semaknya yang tinggi, beberapa serigala sedang mengintai.
Ovis bergidik. Ia melangkah cepat mendekati Kalos. Tahulah ia sekarang mengapa Kalos tidak pernah membawa mereka ke padang itu.
Mendengar langkah-langkahnya, Kalos menoleh. Ia tersenyum sambil menepuk kepalanya penuh sayang. “Ya, ya, aku tahu… Kau ingin segera sampai ke Pastura, kan?”
“Mbeeek!” Ovis mengiyakan sambil menanduk tangan Kalos penuh sayang. 

Monday 17 December 2018

Kalos Elmi dan Para Domba

Ilustrasi oleh Benny Mudjiono

Cerita ini telah diterbitkan  di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No. 449 (Rubrik Komcil). Maret 2018.

Kalos Elmi adalah seorang anak laki-laki penggembala berusia sepuluh tahun. Ia baru saja pindah ke Pastura. Tempat tinggal Kalos dulu terkena wabah Antraks. Domba-domba kesayangannya mati tak bersisa. Untuk menghilangkan kesedihan, Papa Kalos memutuskan untuk pindah dan memulai lagi dari awal. Namun, Kalos sudah terlalu terbiasa dengan kawanan domba-dombanya. Rasanya aneh pindah ke sebuah tempat baru tanpa mereka. Kalos merindukan domba-dombanya.
Sebulan sudah berlalu. Meski Pastura adalah sebuah padang rumput yang hijau dan indah, Kalos masih merasa kehilangan. Pagi itu, Papa mengajak Karlos ke pasar hewan.
“Lihatlah domba-domba yang gemuk itu!” seru Papa. “Kau boleh memilih tiga domba untuk peternakan kita.”
Kalos menggeleng. Ia tidak menginginkan domba baru. Maka bukannya memilih, Kalos berlari kembali ke Pastura.
Di Pastura, Kalos memutuskan mencari rumput bagi sapi-sapinya. Sambil bekerja, ia membayangkan domba-dombanya. Kalos baru saja mengikat rumput dan menyampirkan di bahu, ketika terdengar suara mengembik!
“Oh, aku begitu merindukan domba-dombaku sampai-sampai hampir mendengar suara mereka,” keluh Kalos.
Namun suara itu terdengar lagi. Embikan yang bersahut-sahutan dan sebuah lolongan panjang!
Kalos langsung berdiri dan mencari sumber suara tersebut. Ia melihat seekor serigala dan tiga domba berdiri berhadapan di padang bawah. Gawat!
SRAAAT!
Si serigala besar maju menyerang. Cakar-cakarnya terlihat tajam mengerikan.
Tak ada waktu untuk memanggil bantuan, Kalos menyambar sebuah batu dan melemparkannya ke arah serigala. Namun, serigala itu sangat besar dan cepat! Ia mengabaikan batu tersebut dan menyambar kaki domba yang berwarna coklat.
“MBEEEK!” jerit domba itu kesakitan.
Kalos berdiri gentar. Ia takut! Tubuhnya terlalu kurus, ia pasti tidak dapat mengalahkan si serigala. Lalu, ia melihat si domba putih kecil melesat cepat mengejar si serigala. Di belakangnya, si domba hitam yang bertubuh paling besar mengembik marah dan ikut berlari.
Timbul keberanian dalam hati Kalos. Ia menyambar sebatang tongkat dan ikut berlari cepat menuruni padang.
“HIAAAT!” Kalos memukulkan tongkatnya ke tanah, menghadang si serigala. Binatang liar itu bergerak mundur. Namun, sekejap kemudian ia balik menyerang. Kalos berusaha sekuat tenaga menahan gigitan dan cakar hewan buas itu dengan menggunakan tongkat. Si domba hitam dan putih ribut mengembik di belakangnya. Merasa diberi semangat, Kalos memukulkan tongkat sekuat tenaga, tepat mengenai kepala serigala! Dengan cekatan, tangan lainnya terulur menyelamatkan si domba coklat.
“Heya! Heya!” halau Kalos. Serigala itu pun lari terbirit-birit.
Kalos mendesah, menjatuhkan tubuh di padang rumput. Ia memeriksa kaki domba coklat yang terluka parah, lalu menatap ketiga domba itu.
“Apakah kalian tersesat?” Kalos bertanya lembut. “Dimanakah gembala kalian?”
Domba-domba itu mengembik lirih. Kalos mengelus mereka satu per satu. Ia lalu membuka ikatan rumput dan memberi mereka makan.
Setelah kenyang, domba-domba itu mengembik riang. Mereka menanduk Kalos pelan seolah mengucapkan terima kasih.
“Saatnya pulang,” Kalos menepuk-nepuk celananya yang penuh rumput. Lalu menggendong si domba coklat. “Aku akan membawanya pulang untuk diobati. Apa kalian mau ikut?”
“Mbeeek!” jawab kedua domba itu serentak.
Sejak sore itu, Kalos tidak lagi pulang sendiri. Ia selalu berjalan dalam sebuah iringan dengan si domba hitam besar, si sedang coklat, dan si putih kecil- kelak ia akan menamai mereka Bovi, Caprin, dan Ovis. Namun yang paling penting, sejak sore itu, Kalos tidak merasa kesepian lagi.


Friday 14 December 2018

Kisah Kamis di Riung Ideu



Kamis kemarin mencoba kembali mendongeng di slot Kisah Kamis, di Perpustakaan Riung Ideu. Lebih percaya diri karena mendongengnya di kelompok kecil, terus saya baru saja menemukan buku yang lucu sangat, "The Cow That Went Oink" karya Bernard Most.
Bahkan dari judulnya aja kocak, ya?

Jadi singkat ceritanya, tentang seekor sapi yang bersuara "Oink" dan selalu ditertawakan teman-teman sapinya. Ia lalu bertemu seekor babi yang bersuara, "Moo," yang juga ditertawakan kawanannya. Sebenarnya, bisa ditebak sih, mereka berdua saling mengajari agar masing-masing bisa bersuara yang sebenarnya. Yang bikin menarik, bagaimana si penulis menggambarkan proses belajar keduanya itu. Bacanya antara terharu dan ingin tertawa deh.
Ceritanya lucu, pesan tentang keberagaman yang diangkat pun melekat kuat.

Dan, siapa yang sangka kalau hari itu Riung Ideu kedatangan Mas Djuli Pamungkas, yang kemudian meliput kegiatan dongeng sore itu di beritabaik.id



Rupanya, memang niat baik itu selalu menemukan jalan untuk merangkul lebih banyak orang, ya.
Mari kita tetap semangat!
\(^0^)/



Monday 10 December 2018

Berbeda - Kaya Rasa, Kaya Cerita

Ini adalah beberapa hasil diskusi buku para guru dalam Workshop Keberagaman bersama Jaka Tarub dan Bengkimut kemarin. Lima buah pertanyaan penuntun diskusi adalah : 
1. Ceritanya tentang apa?
2. Cocok untuk usia berapa?
3. Keberagaman apa yang ada dalam cerita?
4. Selain keberagaman tersebut, pembelajaran apalagi yang bisa diambil dari cerita itu?

hasil bedah buku Para Guru

"Warna-Warni di Kota Dino"
1. Cerita tentang Kota Dino yang ramah
2. Cocok untuk usia 4-8 tahun
3. Unsur keberagamannya : mengenal warna dan benda-benda, tempat, tumbuhan, makanan, kendaraan, binatang, buah-buahan, sayuran, minuman, alat tulis.
4. Pembelajaran berbeda itu indah, unik, ramai

"Benji dan Teman-Teman"
1. Perbedaan, sikap saat bersosialisasi
2. PAUD dan SD 1 dan 2
3. Menerima perbedaan, bekerja sama, sopan santun
4. Agama, PKN, Tematik, Matematika, Bahasa Indonesia, Karakter, Seni.

"Waktunya Tidur Dinosaurus"
1. Ceritanya tentang Rexa yang tidak bisa tidur dengan tenang di malam hari karena kamar yang tidak nyaman sehingga teman-teman memberi saran agar Rexa bisa tidur dengan tenang
2. Usia 3-9 tahun
3. Keberagaman cara agar malam hari dapat tidur dengan nyenyak.
4. Jika ada teman yang bermasalah harus dibantu, mengenal angka dari 1-20.


Merayakan Keberagaman Bersama Benji dan Para Dino

Karena kebahagiaan seorang penulis itu adalah bisa terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang bisa menjangkau lebih banyak orang bersama buku-bukunya, setuju?

Sabtu, 08 Desember 2018 kemarin, senang sekali saya boleh terlibat dalam workshop "Mengenalkan Keberagaman Melalui Dongeng" untuk guru-guru SD. Workshop kolaborasi antara Jaka Tarub (Jaringan Kerja Sama Antar Agama) dan Kelompok Dongeng Bengkimut ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Pekan Aksi Bandung Lautan Damai.

Senangnya melihat mereka bersama buku-buku lain yang mengangkat keberagaman sebagai referensi hari ini
Membawa serta Benji dan Teman-Teman juga Para Dino, saya ikut berpartisipasi mengajak para guru untuk mengenal, merasakan, dan menikmati keragaman dalam cerita melalui bedah buku dan praktik mendongeng.

Para guru sedang membaca dan membedah buku Benji dan Para Dino
Praktik dongeng

Tak hanya itu, mengingat seringkali masih sulit ditemukan buku-buku yang mengangkat tema keberagaman, saya pun membagikan pengalaman menulis cerita anak. Harapannya, semoga semakin banyak orang-orang yang turut serta merayakan keberagaman dengan cara yang menyenangkan lewat cerita.

sharing pengalaman menulis cerita anak

Dan semoga, dunia ini menjadi tempat yang lebih nyaman, tak hanya untuk anak-anak, tetapi juga kita semua. Sampai bertemu di acara seru berikutnya, ya!
\(^0^)/