Wednesday 2 December 2015

Pertanyaan Istimewa Safira



Dimuat di Soca-Sinar Harapan, 25 Juni 2015.


Hari ini jadwal pergi ke toko roti tiba, Safira si Roti Biasa tampak gelisah.
“Apakah aku istimewa?” begitu pertanyaan Safira si Roti Biasa selalu pada dirinya. Matanya melirik takut-takut kepada para roti yang sedang saling menyombongkan diri .
“Harumku paling menggoda. Manusia tak akan tahan untuk tidak membeliku,” kata Koko si Roti Kopi dengan dagu terangkat.
Keija si Roti Keju maju, berusaha ikut dalam pembicaraan, “Ya, meski begitu, bentukku yang paling cantik,” katanya sambil memutar tubuhnya yang berbentuk segitiga dengan renda-renda pada bagian bawah tubuhnya, “Manusia sangat mudah tertarik padaku. Selain itu, kandungan keju dalam tubuhku menyehatkan tulang dan gigi,” tambahnya lagi.
“Kupikir, aku lebih menarik darimu,” seru Chika si Roti Kacang menimpali Keija si Roti Keju, “Lihatlah dua lubang dalam tubuhku. Anak-anak senang sekali berpura-pura menjadikanku kacamata,” ucapnya bangga tentang bentuknya yang seperti angka delapan.
Bebi si Roti Blueberry terkikik geli, “Kurasa, yang penting adalah rasa. Manusia sangat menyukai isi tubuhku yang manis menyegarkan!”
Tanpa sadar, Safira si Roti Biasa menghela nafas panjang mendengar pembicaraan mereka yang semakin seru. Ia memandang tubuhnya yang bulat kecoklatan. Tidak ada renda manis di bagian bawah tubuhnya, tidak ada lubang, bahkan harumnya pun biasa karena ia tidak berisi apa-apa. Sering Safira berpikir untuk apa ia diciptakan? Tidak ada yang istimewa dalam dirinya. Ia tidak sempurna. Ia bahkan tidak memiliki teman baik. Ah, jangankan teman baik, ia bahkan tidak dapat ikut berbicara bersama roti-roti lain.
Suara decit ban mobil menghentikan lamunan Safira.
“Waktunya pergi ke toko rotiiii!!” teriak para roti dengan gembira, sementara Safira menyembunyikan dirinya di balik oven pemanggang, berharap tidak ditemukan.
“Hei, roti biasa, ayo ikut! Kau tidak ingin tinggal disini dan dimakan tikus kan?” kata Keija si Roti Keju saat melewatinya.
“Haha, berharap saja kau tidak dimakan tikus di toko roti karena tidak ada yang membelimu,” tambah Bebi si Roti Blueberry sambil tertawa geli.
Koko si Roti Kopi yang mendengar hal tersebut, ikut tertawa terbahak-bahak, “Hahaha, itu akan lucu sekali! Gratis dimakan tikus!”
Mata Safira berkaca-kaca. Saat itu juga, ia membenci perbedaan yang ada. Perbedaan yang terasa menjauhkan.
***
Sepanjang perjalanan ke toko roti, Safira berdiam diri. Hari itu, mobil roti penuh oleh berbagai jenis roti dari beberapa pabrik. Mereka semua berebut saling bicara dan membanggakan diri.
Tiba-tiba, Safira mencium wangi gandum yang menguar di udara bersamaan dengan sebentuk wajah lembut yang menyapanya ceria, “Hai! Mengapa kau terlihat lesu? Bolehkah aku duduk di sampingmu?”
Safira mengangguk.
“Namaku Sari si Roti Istimewa,”lanjutnya dengan senyum ceria yang tak pernah lepas dari wajahnya.
“Aku Safira si Roti Biasa,”
Sari menaikkan satu alisnya memperhatikan Safira, “Lalu, mengapa kau terlihat bersedih? Tidakkah kau gembira akhirnya bisa pergi ke toko roti?”
Lalu, dengan penuh semangat, Sari menceritakan keindahan toko roti. Rak tinggi yang penuh dengan berbagai roti. Kemasan warna-warni. Denting pintu saat para pembeli datang. Dan tentu saja, berbagai jenis manusia.
“Tua muda, besar kecil. Mereka selalu tersenyum saat membeli roti. Kau tahu kenapa? Karena mereka ingin memberikan roti kepada orang-orang yang mereka sayangi. Oh ya, roti istimewa selalu menjadi favorit. Manusia bisa menambahkan toping kesukaan mereka. Kau sebut saja : coklat, keju, strawberry, blueberry, kacang. Dan, kebahagiaan mereka pun menjadi berlipat ganda,” cerita Sari tanpa jeda, tangannya ikut bergerak-gerak membantu menjelaskan dengan semangat.
Safira mendesah, “Betapa beruntungnya dirimu menjadi roti istimewa. Aku hanyalah roti biasa. Apakah ada yang akan membeliku?”
“Apa katamu?” teriak Sari tidak percaya, “Tidakkah kau lihat betapa miripnya kita??”
Untuk pertama kalinya, Safira memperhatikan tubuh Sari yang berbentuk bulat seperti dirinya. Tanpa renda, tanpa lubang, bahkan warna mereka yang kecoklatan pun sama!
“Kau bukan roti biasa. Percayalah!” kata Sari lagi saat akhirnya mobil mereka berhenti di depan toko roti.
Di toko roti, Safira disimpan di rak paling depan bersama banyak roti isi yang lain. Satu per satu pengunjung datang dan mengambil roti di kiri-kanan Safira.
 “Ma, aku mau roti ini ya biar aku bisa isi rasa yang berbeda setiap hari!” seru seorang anak sambil mengangkat tubuh Safira dan memandangnya dengan penuh keinginan.
Safira tersenyum hangat dalam genggaman tangan anak tersebut. Ia tidak lagi membenci perbedaan, ia hanya harus bisa mencari keistimewaannya.
Sebelum meninggalkan toko roti, Safira menoleh dan melihat Sari mengedipkan matanya. Teman baik pertamanya itu masih sempat berbisik, “Ingatlah selalu, kau adalah Safira si Roti Istimewa.”


Sunday 11 October 2015

Dentang Pak Jamjam

dimuat di Majalah Halo Nanda Online, 2 September 2015. Ilustrasi oleh Lily Zhai.



Pak Jamjam adalah sebuah jam besar yang berdiri di Balai Kota Rajinta. Ia memiliki tugas penting, yaitu mengatur kegiatan di kota Rajinta. Setiap pagi, Pak Jamjam berdentang tepat pukul 5 pagi. Ia membangunkan penduduk kota Rajinta. Maka, tak ada yang terlambat memulai aktivitasnya. Bekerja, bersekolah, memasak, ataupun membuka toko.
Sepanjang hari, Pak Jamjam berdentang. Ia menemani waktu makan siang penduduk Rajinta. Ia berdentang mengingatkan waktu selesai bekerja di sore hari. Dan, saat malam tiba, Pak Jamjam berdentang memastikan seluruh penduduk pergi tidur dan mendapat cukup istirahat.
Suatu hari, mesin di dalam tubuh Pak Jamjam rusak. Pak Jamjam hanya berdentang di pukul 4 pagi! Ia berdentang berulang-ulang. Memekakkan telinga seluruh penduduk Rajinta.
“Oh, bahkan hari terlalu pagi untuk melakukan apapun!!” gerutu penduduk Rajinta mengantuk.
Pak Walikota pun memanggil Pak Mekanik. Namun, Pak Jamjam tidak berhasil diperbaiki.
“Jam ini sudah terlalu tua. Mur dan bautnya sudah berkarat. Bahkan diminyaki pun percuma saja. Aku tidak bisa membuka kotak mesinnya,” kata Pak Mekanik sambil mengusap peluh di kening.
Maka, Pak Jamjam dipindahkan dari Balai Kota. Ia disimpan dalam gudang di sudut kota. Betapa sedihnya hati Pak Jamjam! Ia merasa tidak berguna. Tubuhnya mulai dipenuhi debu. Cat cokelat di tubuhnya mulai terkelupas oleh panas matahari.
Suatu pagi, Pak Jamjam mendengar pintu gudang berderit terbuka. Pak Walikota memasuki gudang bersama Pak Penasihat.
“Bapak yakin, akan memberikan jam ini?” tanya Pak Penasihat.
Pak Walikota terlihat bingung. “Aku harus bagaimana lagi? Penduduk kota memprotes keras. Jam ini membangunkan mereka pagi sekali!”
“Tapi, Pak Walikota, jam ini sudah berjasa sekali untuk Rajinta.”
“Itu dia,” Pak Walikota mendesah, “Mereka mulai menganggap jam ini tak berguna lagi. Kau lihat sendiri, Penasihat, kota Rajinta tumbuh dengan baik. Semua bangunan berdiri kokoh. Tidak ada jalan yang rusak atau berlubang. Semua taman kota bersih terawat. Bahkan, kau tidak akan menemukan sarang laba-laba di sini. “
Hening seketika. Lalu, Pak Jamjam merasakan Pak Walikota menyentuhnya lembut.
“Jam ini telah menemaniku membangun Rajinta selama bertahun-tahun. Ia adalah warisan turun-temurun dari pendiri kota pertama. Rasanya berat untuk melepasnya …”
Tak lama kemudian, datang 4 orang lelaki bertubuh besar. Pak Jamjam dinaikkan ke atas truk. Tubuhnya dililit tali-temali. Dengan sedih, Pak Jamjam menatap kota Rajinta yang semakin jauh dari pandangan. Ia merasa tua dan tak berguna.
Setelah cukup lama terguncang-guncang, akhirnya truk berhenti juga. Pak Jamjam menatap sekelilingnya. Ohlala! Ia berada di kota Malaski, kota tetangga Rajinta. Dan, oh, alangkah berbedanya kota ini dengan Rajinta! Sepanjang Pak Jamjam memandang, bangunan-bangunan berdiri miring dengan cat yang terkelupas. Jalan-jalan berlubang. Tumpukan sampah terlihat di kiri-kanan jalan. Tumbuh-tumbuhan coklat menunduk kekeringan.  Bahkan, di beberapa rumah, Pak Jamjam melihat penduduk yang masih tertidur di balik selimut!
Meski begitu, Pak Jamjam bertekad tetap melaksanakan tugasnya. Hal itu membantu mengobati rasa sedih di hatinya. Pukul 4 pagi, Pak Jamjam berdentang nyaring. Suaranya terdengar sampai penjuru kota Malaski. Membuat penduduk Malaski melonjak dari tidur.
“Hei, suara apakah itu?”
“Astaga, nyaring sekali suaranya!”
Mereka membuka jendela, mencari tahu asal suara tersebut. Udara pagi yang segar memasuki rumah. Kantuk penduduk kota Malaski hilang seketika.
“Selamat pagi, selamat pagi!” sapa Pak Walikota Malaski melihat kedatangan penduduknya. “Lihatlah jam baru ini! Ia akan membantu kita memperbaiki kota!”
Pagi itu, mereka mulai bekerja. Ada yang memperbaiki dan mengecat ulang bangunan. Ada yang memperbaiki jalan rusak dan berlubang. Ada juga yang membantu menyiangi dan menata taman-taman kota.
Beberapa bulan kemudian, dentang pagi Pak Jamjam dan kerja keras penduduk membuahkan hasil. Seluruh penduduk bersuka ria.
“Jam ini sangat berguna! Berkatnya, kita terbiasa bangun pagi!” kata salah seorang penduduk.
Penduduk yang lain menjawab setuju, “Ya, betapa indahnya kota kita sekarang!”
Sebagai bentuk penghargaan, Pak Jamjam dipindahkan ke tengah kota. Dari sana, ia memperhatikan penduduk yang melakukan kegiatannya sejak pagi dimulai. Bersekolah, bekerja, atau membuka toko. Tak jarang, satu dua penduduk yang lewat menatapnya kagum dan penuh rasa terima kasih. Berkat dentang Pak Jamjam, kini kota Malaski terkenal sebagai kota yang indah juga makmur. Pak Jamjam sungguh gembira, ternyata ia tetap berguna!
***

Friday 25 September 2015

First Gathering with BIP. So Much Inspiring.





Happy 23rd Birthday, BIP!
Wishing you all the best in life ...  

Glad to become your part :)

Ini gathering penulis pertama yang saya hadiri. Jangan tanya bagaimana perasaannya, sudah pasti takut, malu, nggak pede. Tapi, selalu ada orang-orang baik yang mendukung. Misalnya, Pak Editor yang mengirim email beberapa hari sebelum Writer's Gathering, menjawab keraguan saya untuk datang.


"Ayo, datang aja. Nanti juga kenal sama penulis-penulis lain. Pasti asyik."

Dan Beliau memang benar, di sana saya bertemu Mbak Kezia Evie Wiadji dan Mbak Monica Anggen yang mau bertukar pengalaman seputar proses menulis. Acara Writer's Gatheringnya sendiri membahas banyak hal seputar dunia penerbitan; dari segi filosofi, produksi, sampai promosi. Seru! Membuat saya makin semangat menulis. Haha *Amin.
Terakhir, tentu saja terima kasih banyak kepada Benji yang mau mengantar dan rela menunggu beberapa jam sendiri.

Saya pun menyadari bahwa meski seringkali menulis itu pekerjaan yang sepi, ada saatnya kita perlu bertemu dan merayakan kebersamaan :) 

Semangat!
\(^0^)/