Monday 17 December 2018

Kalos Elmi dan Para Domba

Ilustrasi oleh Benny Mudjiono

Cerita ini telah diterbitkan  di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung No. 449 (Rubrik Komcil). Maret 2018.

Kalos Elmi adalah seorang anak laki-laki penggembala berusia sepuluh tahun. Ia baru saja pindah ke Pastura. Tempat tinggal Kalos dulu terkena wabah Antraks. Domba-domba kesayangannya mati tak bersisa. Untuk menghilangkan kesedihan, Papa Kalos memutuskan untuk pindah dan memulai lagi dari awal. Namun, Kalos sudah terlalu terbiasa dengan kawanan domba-dombanya. Rasanya aneh pindah ke sebuah tempat baru tanpa mereka. Kalos merindukan domba-dombanya.
Sebulan sudah berlalu. Meski Pastura adalah sebuah padang rumput yang hijau dan indah, Kalos masih merasa kehilangan. Pagi itu, Papa mengajak Karlos ke pasar hewan.
“Lihatlah domba-domba yang gemuk itu!” seru Papa. “Kau boleh memilih tiga domba untuk peternakan kita.”
Kalos menggeleng. Ia tidak menginginkan domba baru. Maka bukannya memilih, Kalos berlari kembali ke Pastura.
Di Pastura, Kalos memutuskan mencari rumput bagi sapi-sapinya. Sambil bekerja, ia membayangkan domba-dombanya. Kalos baru saja mengikat rumput dan menyampirkan di bahu, ketika terdengar suara mengembik!
“Oh, aku begitu merindukan domba-dombaku sampai-sampai hampir mendengar suara mereka,” keluh Kalos.
Namun suara itu terdengar lagi. Embikan yang bersahut-sahutan dan sebuah lolongan panjang!
Kalos langsung berdiri dan mencari sumber suara tersebut. Ia melihat seekor serigala dan tiga domba berdiri berhadapan di padang bawah. Gawat!
SRAAAT!
Si serigala besar maju menyerang. Cakar-cakarnya terlihat tajam mengerikan.
Tak ada waktu untuk memanggil bantuan, Kalos menyambar sebuah batu dan melemparkannya ke arah serigala. Namun, serigala itu sangat besar dan cepat! Ia mengabaikan batu tersebut dan menyambar kaki domba yang berwarna coklat.
“MBEEEK!” jerit domba itu kesakitan.
Kalos berdiri gentar. Ia takut! Tubuhnya terlalu kurus, ia pasti tidak dapat mengalahkan si serigala. Lalu, ia melihat si domba putih kecil melesat cepat mengejar si serigala. Di belakangnya, si domba hitam yang bertubuh paling besar mengembik marah dan ikut berlari.
Timbul keberanian dalam hati Kalos. Ia menyambar sebatang tongkat dan ikut berlari cepat menuruni padang.
“HIAAAT!” Kalos memukulkan tongkatnya ke tanah, menghadang si serigala. Binatang liar itu bergerak mundur. Namun, sekejap kemudian ia balik menyerang. Kalos berusaha sekuat tenaga menahan gigitan dan cakar hewan buas itu dengan menggunakan tongkat. Si domba hitam dan putih ribut mengembik di belakangnya. Merasa diberi semangat, Kalos memukulkan tongkat sekuat tenaga, tepat mengenai kepala serigala! Dengan cekatan, tangan lainnya terulur menyelamatkan si domba coklat.
“Heya! Heya!” halau Kalos. Serigala itu pun lari terbirit-birit.
Kalos mendesah, menjatuhkan tubuh di padang rumput. Ia memeriksa kaki domba coklat yang terluka parah, lalu menatap ketiga domba itu.
“Apakah kalian tersesat?” Kalos bertanya lembut. “Dimanakah gembala kalian?”
Domba-domba itu mengembik lirih. Kalos mengelus mereka satu per satu. Ia lalu membuka ikatan rumput dan memberi mereka makan.
Setelah kenyang, domba-domba itu mengembik riang. Mereka menanduk Kalos pelan seolah mengucapkan terima kasih.
“Saatnya pulang,” Kalos menepuk-nepuk celananya yang penuh rumput. Lalu menggendong si domba coklat. “Aku akan membawanya pulang untuk diobati. Apa kalian mau ikut?”
“Mbeeek!” jawab kedua domba itu serentak.
Sejak sore itu, Kalos tidak lagi pulang sendiri. Ia selalu berjalan dalam sebuah iringan dengan si domba hitam besar, si sedang coklat, dan si putih kecil- kelak ia akan menamai mereka Bovi, Caprin, dan Ovis. Namun yang paling penting, sejak sore itu, Kalos tidak merasa kesepian lagi.


No comments:

Post a Comment