dimuat di Majalah Bobo, Mei 2017 |
Ambia berlari mengitari
kebun bunga. Sesekali tangan mungilnya memetik bunga di kiri-kanan. Membuangnya
begitu saja.
“Ambia! Jangan!” teriak
Aulia.
Bukannya meminta maaf,
Ambia malah menjulurkan lidahnya. Sekali lagi tangannya merenggut bunga mawar
dari semak di dekatnya. Mengacungkan ke udara, sebelum akhirnya membuang ke
rerumputan. Mata Aulia melebar. Sambil terkikik geli, Ambia berlari
meninggalkan kebun.
Di dalam rumah, Ambia
meneguk habis segelas besar air dingin. Menjahili Aulia dan bunga-bunganya
sudah menjadi rutinitas harian. Habis, sebal sih! Gara-gara bunga itu, Aulia selalu
sibuk sendiri! Bahkan beberapa hari terakhir ini, banyak tetangga yang meminta
bibit bunga dari kembarannya tersebut.
“Konyol!” gerutu Ambia
berjalan kembali ke kebun. Ia membawa sebuah buku di tangan.“Kenapa sih Aulia
selalu sibuk begitu? Menanam bunga kan gampang!”
Tak lama kemudian,
Ambia asyik membaca buku petualangannya. Suara berdesing di dekat telinga
mengganggu konsentrasinya. Ambia mengibaskan tangan. Namun, bukannya menjauh,
suara mendesing itu terdengar makin mendekat.
“KYA!!” Ambia berteriak
ngeri menatap dua bola mata besar di depan wajahnya. Kepalanya terantuk pohon.
Ambia pun pingsan.
**
Begitu terbangun, tubuhnya
terasa ringan sekali. Ambia melihat pemandangan di kiri, kanan, bahkan di
belakangnya dengan jelas. Ada apa dengan mataku? batin Ambia tidak mengerti.
“Hei, mengapa kau
melamun?” sergah sebuah suara, “Ayo, angkut serbuk sarinya!”
Ambia hampir saja
berteriak, lagi-lagi ia melihat seekor capung di hadapannya. Eh tunggu dulu! Ia
melihat ke arah tangannya yang terjulur lurus. Tangan itu begitu kurus. Seperti
kawat kecil yang dilengkungkan. Perlahan, Ambia menatap pantulan dirinya di
sungai. Nafasnya tercekat.
“TIDAAAK! Aku bukan
capung! Aku ini manusia!!”
Capung di hadapannya
menatap datar. “Jangan bercanda. Ini waktunya bekerja. Ayo cepat, angkut serbuk
sari itu!”
Tanpa menunggu lagi,
capung tersebut meletakkan setumpuk serbuk sari di tangan Ambia. Tak hanya itu,
capung itu pun mendorong Ambia, mengajaknya untuk bergerak. Sore itu sungguh
melelahkan! Ambia terbang dari satu bunga ke bunga lain. Menempelkan setiap
serbuk sari. Terkadang, angin nakal menerbangkannya. Membuat Ambia harus
bekerja ulang menempel serbuk sari tersebut.
Tak hanya itu, Ambia
harus terbang dengan cepat. Berkelit ke kiri dan ke kanan. Menghindarkan diri
dari para lebah, terutama dari jarum di tubuh mereka. Ya, tak hanya capung,
para lebah pun membantu penyerbukan bunga. Setiap hari, mereka memiliki target
bunga dalam proses penyerbukan.
Ketika senja tiba,
capung yang bertubuh paling besar menghentikan kegiatan. Perintah itu langsung
dituruti capung-capung yang lain. Saat sedang duduk-duduk beristirahat, Ambia
baru menyadari, para capung itu menggunakan kalung bintang yang bersinar di
kegelapan. Ambia memegang lehernya. Ia menemukan kalung bintang yang sama.
Sinarnya kebiruan. Indah sekali!
“Itu kalung estetika
pemberian Flamboisine, sebagai tanda terima kasih karena sudah 3 tahun
berturut-turut taman bunga kita menjadi taman terindah,” capung di sebelah
Ambia menjelaskan.
Melihat Ambia yang
hanya terdiam, capung itu melanjutkan. “Tentu saja, bukan hanya karena kerja
keras kita. Di dunia sana, manusia pun banyak membantu dengan berbagai cara.
Misalnya, memberi pupuk, menyiram dengan teratur, sampai mencabuti tanaman liar
di sekeliling semak bunga.”
Tiba-tiba saja Ambia
teringat Aulia. Kembarannya yang selalu menengok kebun bunga mereka setiap
hari. Memastikan menyiram mereka, memberi pupuk sedikitnya seminggu sekali, dan
menghabiskan banyak waktu mencabuti tanaman liar meski panas matahari
menyengat. Sementara dirinya?
Ambia belum sempat
mengatakan apapun ketika tiba-tiba tercium aroma harum di udara. Seperti bunga
melati dan bolu kukus yang baru saja matang.
“Flamboisine datang!”
Bersama dengan seruan
itu, Ambia menatap sosok gadis yang muncul di hadapannya. Kulitnya berkilau
seperti sinar rembulan, sepasang sayap bergemerisik di punggungnya. Kepalanya
dihiasi aneka bunga warna-warni – ada merah, kuning, jingga, ungu, dan putih.
Ambia mengenal jenis bunga itu. Aulia pernah membuat satu rangkai penuh untuk
ulang tahun Kepala Sekolah.
“Ini
bunga flamboyan. Ratunya para bunga,” ucap Aulia saat itu.
Suara Flamboisine
mengembalikan Ambia dari lamunannya. Peri itu mengucapkan terima kasih atas
kerja keras para capung sepanjang hari ini. Suaranya terdengar merdu.
“Semoga bunga-bunga
yang kalian bantu hari ini akan mekar dengan indah. Ini sekaligus akan menjadi
tanda terima kasih untuk para manusia yang ikut merawat mereka.” Flamboisine
tersenyum mengakhiri pesannya. Untuk sesaat, mata peri bunga itu beradu dengan
mata Ambia. Senyum hangatnya membuat Ambia merindukan Aulia. Tiba-tiba saja,
Ambia merasakan kantuk teramat sangat.
**
“Hei, Ambia .. bangun
…”
Ambia merasakan
guncangan pelan. Ketika membuka mata, ia mendapati Aulia memandangnya khawatir.
“Kamu baik-baik saja?
Aku mendengar teriakanmu tadi.”
Ambia mengabaikan
pertanyaan Aulia. Ia menatap tangannya yang sudah kembali seperti semula,
begitu pula kepala dan tubuhnya. Sambil bersorak gembira, Ambia memeluk Aulia,
membuat kembarannya tersebut heran bukan buatan.
Namun, ada yang lebih
mengherankan. Sejak hari itu, Ambia tidak pernah mengusili Aulia lagi. Gadis
itu tidak sembarang memetiki bunga atau sekedar duduk-duduk menonton kesibukan
Aulia. Sebaliknya, dengan penuh semangat Ambia membantu Aulia merawat kebun
bunga mereka.
No comments:
Post a Comment