Monday 29 May 2017

Peran (Sangat) Penting Seorang Editor bagi Penulisnya.

Kerusuhan di Meja - dokumentasi pribadi

Sejak awal tahun, entah mengapa loh (oke, karena satu dan lain hal sebenarnya) semangat menulis saya menurun sekali. Bahkan saya belum mengirim naskah apapun kepada penerbit untuk tahun ini.
Suatu hari, saya iseng menyapa Pak Yogi, editor  saya di Penerbit BIP. Sekaligus update satu naskah seri yang lagi proses. Setelah bertukar kabar, email diakhiri dengan pertanyaan,
"Gimana, Bu? Ada ide bikin buku aktivitas?"
Lalu rasanya seperti disambar geledek. Hahaha.

Pak Editor saya yang satu ini, biasanya jarang banget mengeluarkan pertanyaan itu. Mungkin karena sejak Benji acc di tahun 2014, setiap tahun saya rajin mengirim naskah. Minimal 1 tahun 1 seri. Setiap ketemu di gathering, jangan tanya. Saya bawel banget merecoki Beliau dengan ide-ide naskah saya dan bagaimana kira-kira peluangnya. Wkwkwk. 
Mungkin sekarang Beliau heran, hampir setengah tahun berlalu, dan saya diam-diam saja.
Saya jadi malu. 

Untungnya, di akhir tahun 2016 kemarin, saya memang lagi bikin naskah seri aktivitas. Cuma ya itulah, karena satu dan lain hal tadi, saya berhenti gitu aja. Saya pun bercerita pada Beliau yang dengan sabar dan baik hati mendengarkan (lagi) ide-ide saya, lalu ikut memberi masukan dan saran.

Oke, semangat pun kembali melejit!
Saya langsung membaca ulang semua riset yang sudah saya lakukan, menyelesaikan cerita-ceritanya, mencari aktivitas-aktivitas yang berkaitan, sampai akhirnya membedah ke dalam kolom halaman-keterangan-teks-ilustrasi-aktivitas.
Endapkan. Baca lagi. Revisi. Berdoa. Kirim.

Done!
Akhirnya satu naskah terkirim tahun ini, semoga diterima, semoga masih banyak naskah-naskah lain,
terutama .. semoga saya nggak ogah-ogahan menulis lagi :D

Dan kerja keras memang selalu berbuah manis.
Nggak lama, Pak Yogi membalas email kalau naskah saya sudah diterima. 
Ajakan berikutnya, "Bu, kita bikin buku (masih rahasia), bisa?"
Besok-besoknya Beliau meluangkan waktu untuk memberi saya referensi atau sekedar bertukar pendapat.

Saya nggak tahu, apakah ini karena editor saya baik hati atau kerja keras saya?
Yang saya tahu,
perlu seseorang untuk menepuk pundakmu dan mengingatkan,
lalu kamu kembali memiliki kepercayaan dan semangat baru.
Selanjutnya, kamu hanya perlu melangkah untuk mengalahkan kemalasan,
dan bekerja keras pada prosesnya.

Maka,
Terima kasih sangat, Pak Yogi... 
for always believing and taking care of me and my oh-bagus-kok-bu ideas :) :)

Wednesday 24 May 2017

Buku Paduan Mendidik si Kecil? Butuh Nggak, Ya?

Dear, Papa Brahm,
Terima kasih sudah membaca dan berbagi review.
Sehat dan bahagia selalu untuk si kecil, ya :)


"Mendidik anak tak semudah saat kita membaca buku paduan mendidik anak, karena setiap anak mempunyai karakter dan sesuatu yang spesial. Akan tetapi, itu tidak berarti kita - sebagai orang tua- tidak membutuhkan buku panduan untuk mendidik si kecil.

Buku Menumbuhkan Kemandirian Anak karya Kak eugeniarakhma yang diterbitkan Stiletto Book ini merupakan salah satu buku parenting yang sangat penting untuk para orang tua yang mempunyai balita seperti saya. Buku ini menjelaskan seputar tumbuh kembang anak, bagaimana mengajarkan kemandirian sejak dini, bagaimana reward dan punishment yang sesuai dengan perkembangan psikologi anak, apa peran penting kegiatan bermain bagi si kecil dan apa saja yang merangsang kecerdasannya, dsb.

Mengapa menumbuhkan kemandirian pada anak balita menjadi sesuatu yang penting? Saya kutip dari pengantar buku ini hlm. xiv :
'Erik Erikson mengemukakan teori psikososial di mana seorang manusia berkembang dari lahir sampai mati, memiliki tugas-tugas pada setiap tahap perkembangannya yang harus diselesaikan sehingga ia akan mampu menyelesaikan setiap tantangan kehidupan kelak.'... apalagi tahun-tahun pertama si kecil merupakan periode emas, kan? Periode yang sangat berpengaruh terhadap masa depan si kecil."

Kalau kamu sudah membaca MiKA,
yuk, berbagi kesan dan pesanmu di sini :)

Tuesday 23 May 2017

Yuk, Main Sama Benji Lagi!







Yuhuuu,
terima kasih, Mika sudah lagi-lagi mengajak Benji bermain :)
Dan ternyata teori "mengenalkan sebanyak mungkin buku kepada anak itu," terbukti yah.
Tinggal cocok nggak cocok, suka nggak suka. 
Syukurlah, Mika cocok sama Benji.
Sebagai penulisnya, senang sekali!
Semoga begitu juga dengan anak-anak yang lain, di belahan dunia manapun.
(mimpi kan boleh setinggi dan selebar-lebarnya :D)

Lihatlah keseruan Mika bermain sama Benji.
Ini sebenernya video sih, tapi secara pemilik blog ini gaptek dan belum sanggup bayar seseorang untuk maintenance blog, foto aja yah.

kegiatan menebalkan bentuk lingkaran dan membilang urut 1-10.

Kegiatan memasangkan gambar "memahami sebab-akibat yang terjadi pada diri." Misalnya, sakit gigi karena nggak gosok gigi, berkutu karena nggak keramas, dll.

Kamu main apa sama Benji hari ini?
(^o^)/

Ps : semua foto diambil dari instagram Mama Ina dan di-upload di sini atas seijinnya.

Wednesday 17 May 2017

Hari Buku Nasional - MiKA dalam Skripsi (Part III).



Semoga kita akan lebih sering muncul di skripsi dan menjadi referensi lebih banyak orang lagi ya, MiKA!
Terima kasih untuk kepercayaan dan sudah berbagi cerita, Anggie. Semoga harapan dan cita-citamu ke depan dilancarkan. Amiiin.

Ya kan? 
Hari Buku Nasional tahun ini berkesan banget buat saya.
Terima kasih sangat semua... Mari kita terus membaca!
Yes, I'm the happiest-book-writer-worms!
\(^o^)/

Hari Buku Nasional - Benji dan Mika (Part II).

Testimoni kedua datang dari Mama Ina dan Mika.
Jadi, Mama Ina ini teman ber-zumba beberapa bulan terakhir. Waktu tahu saya penulis Benji, Mama Ina pergi ke Gramedia, ajak Mika (anaknya yang berusia 3 tahun). Nggak lama dia cerita, saya inget banget.
"Eh, kemarin aku ke Gramedia Merdeka, lihat Benji. Pas nawarin Mika, dia liat sebentar, terus bilang. 'Nggak ada stikernya, nggak mau."
(Hati langsung berdarah-darah. Haha...)
Lalu, Mama Ina melanjutkan cerita kalau dia beberapa kali menawarkan Benji lagi ke Mika. Udah pakai tambahan, "Ini bagus loh, Mika." Tapi Mika tetap nggak mau. Cerita punya cerita, Mika lebih tertarik sama tokoh-tokoh yang udah sering ia lihat di televisi, terutama si Little Pony.
Oke. Nggak jadilah mereka membeli Benji.

Pulang zumba hari itu, saya kepikiran sampai beberapa hari. Agak hiperbola sih, tapi beneran. Sedih aja gitu, Benji kalah terkenal sama tokoh-tokoh televisi. Abis gimana dong? Benji kan tokoh dalam buku, bukan artis hahaha. Lalu saya ingat salah satu workshop Read A Loud yang saya hadiri waktu itu dan beberapa buku pendidikan anak usia dini yang saya baca. Bahwa tugas orang tua lah menyediakan berbagai macam pilihan buku kepada anak- masalah suka atau tidak suka, biar si anak yang memutuskan.

Oke. Saya pun mengambil keputusan- antara penasaran dan nggak mau kalah sama tokoh yang udah tersohor di televisi - saya memberi satu buah buku Benji ke Mama Ina. 
"Untuk Mika," kata saya.
Meski dalam hati, gambling sih.
Kalau Mika suka, oke. Berarti emang tak kenal maka tak sayang.
Kalau Mika nggak suka, ini harus jadi catatan. Apa kekurangannya?
Meski ya, (menghibur diri sendiri tea) setiap orang kan punya selera baca yang berbeda-beda, ya?

 Dan hari ini, datanglah testimoni itu :
"Selamat hari buku nasional. Hari ini istimewa karena mika punya buku baru Benji-nya kakak @eugeniarakhma. Beberapa bulan yang lalu di kunjungan mama dan mika ke toko buku, mika belum mau main sama benji. waktu itu dia bilang, "ga ada stikernya. ga mauk. Etapi hari ini beda, dari reaksi pertama liat bukunya juga beda. Langsung diambil dan minta dibacain. Buat mika yang susah tertarik sama buku, ini jauh dari ekspektasi mama. Good job banget mika. Mana dia langsung main sama benji lagi. Senang kata mika. Dan mika langsung minta dibeliin seri benji yang lain. Terima kasih kak @eugeniarakhma. Terus berkarya ya kak. God bless."

Lega. Rasanya kaya lulus ujian, loh, bener. Haha. 
Senangnya!
Terima kasih Mika dan Mama Ina :)
Selamat bermain sama c kriwil, ya!
\(^o^)/

Hari Buku Nasional - Benji dan Biru (Part 1).

Bukumu tentu akan menyenangkan orang lain, 
ketika ia sudah terlebih dahulu menyenangkan orang-orang terdekatmu. 
Setuju?

Saya nggak pernah merayakan Hari Buku Nasional (karena setiap hari adalah Hari Buku, wkwk). Tapi tahun ini, Hari Buku Nasional berkesan sekali, loh. Dimulai dari testimoni yang datang dari sahabat sesama guru dulu, hampir 7 tahun yang lalu. 


"Baru beli Benji dan Musim Panas sama Benji dan Musim Hujan karena Biru belakangan ini lagi excited sama "Umbrella" dan "Rain" sekalian deh diajarin aja tentang musim panas dan musim dingin. Next book store visit koleksi Benji nya bakal dilengkapin karena ternyata Biru suka sama bukunya Aunty Rara!"
- the picture caption-  

"Keren say bukumu, gambarnya juga bagus menarik. Usul next benji series pake stiker-stiker aktivity ya pasti makin seru tuh. Hihi."
- the Mom's comment -

Terima kasih untuk kepercayaannya, Wi. 
Terima kasih sudah memilih, membeli, dan membaca Benji.
Selamat bersenang-senang selalu ya, Biru :)

Kamu, koleksi yang mana?

Friday 12 May 2017

Suatu Hari, Suatu Cerita dari si Meja.

Menulis cerpen anak itu, bisa jadi hanya 150 sampai 300 kata (entah kenapa dan sejak kapan saya lebih hobi menulis di bawah 300 kata). Tapi, silahkan diintip referensinya. Bejibun! Atau, penulisnya sajakah yang belum ahli? Hihi.


Mengabadikan si meja kerja setiap kali menulis cerpen untuk Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung.Adakah yang mencium aroma serius di sini? Silahkan baca cerpen yang sudah terbitnya di page Cerpen Anak, ya.

Yuk, tetap semangat dan berkarya!
\(^0^)/

Thursday 11 May 2017

Telur untuk Kubo.



Dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung, April 2017.



Negeri Naganini adalah negeri para naga. Namun, telah bertahun-tahun Kubo tinggal seorang diri di sana. Ia merasa kesepian dan tidak bahagia. Suatu malam, Kubo mendengar suara dalam tidurnya.
“Aku akan mengirimkan seorang teman untukmu. Kamu tidak akan kesepian lagi. Percayalah.”
Kubo terbangun dan memikirkan mimpinya yang aneh. Namun, ia memutuskan untuk percaya.
Esoknya, Kubo pergi ke kebun untuk memetik beberapa arbei. Di balik semak, ia melihat cahaya berkilauan. Kubo terkejut mendapati sebuah benda berbentuk oval.
“Teman?” tanyanya senang sambil mengibaskan ekor.
Benda itu tidak menjawab. Kubo lalu mengetukkan jari-jarinya perlahan. Tuk…tuk…tuk…
“Halo? Teman?”
Benda itu masih tak menjawab.
Kubo merasa sedih. Namun ia tetap percaya. Kubo pun membawa benda itu pulang. Ia menghias benda tersebut dengan kain warna-warni, mengajaknya berbicara, bahkan memeluknya saat tidur.
Suatu malam, benda itu bergerak, retak, dan terbelah dua! Kubo terbangun dan memekik kaget.
 “Teman!” serunya senang melihat seekor naga kecil muncul di antara retakan.
Sejak saat itu, hidup Kubo berubah. Ia dan si naga kecil selalu bersama. Kubo pun tak lagi merasa sedih dan kesepian. 

Kubo - Ilustrasi (nggak simetris) sendiri :D


Tuesday 9 May 2017

Another Project to Come.

Blessed is to have another chance to publish your idea, and off course, get a new beautiful journal
 *salah fokus banget f(x_x)

09 May 2017, kontrak bersama Grasindo.
Ini nonfiksi bersama Grasindo lagi, masih duet bersama Mbak Monica Anggen.
Doakan proses terbitnya lancar, yah.
Mari kita semangat!
\(^0^)/


"Always remember, your focus determines your reality." - George Lucas.


Terima kasih sudah membaca Instuisi, Mbak BE! 
Semoga intuisi kita semakin terasah, terutama dalam hal menulis, daaan sukses selaluuu!

Wednesday 3 May 2017

Menembus Bobo! Kya!

Oke, ini hiperbola. Tapi... akhirnyaaa!

Bertemu Peri Flamboisine, 03 Mei 2017, Majalah Bobo.

Setelah belasan cerpen terkirim ke majalah kelinci biru satu ini...
Setelah menunggu setahun lamanya...
Setelah hampir menyerah dan istirahat mengirim...
Eh, muncul juga satu :)

Bertemu Peri Flamboisine bercerita tentang dua anak kembar yang sifatnya bertolak belakang. Pesan tersiratnya sih tentang menyayangi tanaman.

Cerpen ini dikirim pada 03 Maret 2016, ditulisnya juga berarti sekitar-sekitar itu lah. Lama juga, ya?
Jadi waktu itu, sehabis kelas Kurcaci Pos bersama Mas Bambang Irwanto, beberapa teman mengajak saya untuk membuat kelas baru dengan tujuan lanjut belajar dan menulis cerpen anak. Nama grupnya Little Fun Story Land. Anggotanya hanya lima orang (bisa dibilang grup nggak sih?) Setiap minggu kami saling bertukar materi menulis cerita anak dan diberi tugas menulis cerita berdasarkan materi tersebut.
Nah, "Bertemu Peri Flamboisine" ini salah satu hasilnya.

Waktu itu materinya adalah membuat cerita dari empat gambar acak. Saya mendapat gambar capung, kalung bintang, lalu dua lagi lupa. Maafkan.
Waktu itu juga, saya lagi terobsesi banget sama "Kumpulan Dongeng Dunia Mimpi" yang diterbitkan Penerbit BIP (Ada yang punya juga? Ceritanya bagus-bagus sangat yaaa! Ditambah ilustrasinya yang juga indah!) Ada salah satu cerita tentang Putri Framboisine- seorang putri yang mencari pangeran. Lucunya, nama-nama tokoh dalam cerita tersebut adalah nama makanan. Misalnya, Pangeran Macaron, Raja Pralin, Caramel, dll. Lucu, kan? Habis baca itu, saya berniat akan bikin satu cerita yang menggunakan nama makanan yang lucu kaya gitu. Maka, jadilah cerita "Bertemu Peri Flamboisine" ini.

Dalam cerita ini, Flamboisine berasal dari bunga Flamboyan, yang merupakan ratunya para bunga. Nama Ambia dan Aulia sendiri terinspirasi dari dua nama sepupu kecil saya yang memang kembar (dan badung sangat, kalau boleh menambahkan). 

Terima kasih kepada Mbak Ruri untuk kabarnya, juga teman-teman di LFS : Mbak Ruri (lagi), Mbak Lilis, Ara, dan Mas Ganda. Terima kasih untuk semangat dan masukannya selalu :)

Dan bagian terbaik dari pencapaian ini adalah melihat selalu ada yang mendukung di setiap usaha.
Terima kasih, ya!

Bertemu Peri Flamboisine



dimuat di Majalah Bobo, Mei 2017


Ambia berlari mengitari kebun bunga. Sesekali tangan mungilnya memetik bunga di kiri-kanan. Membuangnya begitu saja.
“Ambia! Jangan!” teriak Aulia.
Bukannya meminta maaf, Ambia malah menjulurkan lidahnya. Sekali lagi tangannya merenggut bunga mawar dari semak di dekatnya. Mengacungkan ke udara, sebelum akhirnya membuang ke rerumputan. Mata Aulia melebar. Sambil terkikik geli, Ambia berlari meninggalkan kebun.
Di dalam rumah, Ambia meneguk habis segelas besar air dingin. Menjahili Aulia dan bunga-bunganya sudah menjadi rutinitas harian. Habis, sebal sih! Gara-gara bunga itu, Aulia selalu sibuk sendiri! Bahkan beberapa hari terakhir ini, banyak tetangga yang meminta bibit bunga dari kembarannya tersebut.
“Konyol!” gerutu Ambia berjalan kembali ke kebun. Ia membawa sebuah buku di tangan.“Kenapa sih Aulia selalu sibuk begitu? Menanam bunga kan gampang!”
Tak lama kemudian, Ambia asyik membaca buku petualangannya. Suara berdesing di dekat telinga mengganggu konsentrasinya. Ambia mengibaskan tangan. Namun, bukannya menjauh, suara mendesing itu terdengar makin mendekat.
“KYA!!” Ambia berteriak ngeri menatap dua bola mata besar di depan wajahnya. Kepalanya terantuk pohon. Ambia pun pingsan.
**
Begitu terbangun, tubuhnya terasa ringan sekali. Ambia melihat pemandangan di kiri, kanan, bahkan di belakangnya dengan jelas. Ada apa dengan mataku? batin Ambia tidak mengerti.
“Hei, mengapa kau melamun?” sergah sebuah suara, “Ayo, angkut serbuk sarinya!”
Ambia hampir saja berteriak, lagi-lagi ia melihat seekor capung di hadapannya. Eh tunggu dulu! Ia melihat ke arah tangannya yang terjulur lurus. Tangan itu begitu kurus. Seperti kawat kecil yang dilengkungkan. Perlahan, Ambia menatap pantulan dirinya di sungai. Nafasnya tercekat.
“TIDAAAK! Aku bukan capung! Aku ini manusia!!”
Capung di hadapannya menatap datar. “Jangan bercanda. Ini waktunya bekerja. Ayo cepat, angkut serbuk sari itu!”
Tanpa menunggu lagi, capung tersebut meletakkan setumpuk serbuk sari di tangan Ambia. Tak hanya itu, capung itu pun mendorong Ambia, mengajaknya untuk bergerak. Sore itu sungguh melelahkan! Ambia terbang dari satu bunga ke bunga lain. Menempelkan setiap serbuk sari. Terkadang, angin nakal menerbangkannya. Membuat Ambia harus bekerja ulang menempel serbuk sari tersebut.
Tak hanya itu, Ambia harus terbang dengan cepat. Berkelit ke kiri dan ke kanan. Menghindarkan diri dari para lebah, terutama dari jarum di tubuh mereka. Ya, tak hanya capung, para lebah pun membantu penyerbukan bunga. Setiap hari, mereka memiliki target bunga dalam proses penyerbukan.
Ketika senja tiba, capung yang bertubuh paling besar menghentikan kegiatan. Perintah itu langsung dituruti capung-capung yang lain. Saat sedang duduk-duduk beristirahat, Ambia baru menyadari, para capung itu menggunakan kalung bintang yang bersinar di kegelapan. Ambia memegang lehernya. Ia menemukan kalung bintang yang sama. Sinarnya kebiruan. Indah sekali!
“Itu kalung estetika pemberian Flamboisine, sebagai tanda terima kasih karena sudah 3 tahun berturut-turut taman bunga kita menjadi taman terindah,” capung di sebelah Ambia menjelaskan.
Melihat Ambia yang hanya terdiam, capung itu melanjutkan. “Tentu saja, bukan hanya karena kerja keras kita. Di dunia sana, manusia pun banyak membantu dengan berbagai cara. Misalnya, memberi pupuk, menyiram dengan teratur, sampai mencabuti tanaman liar di sekeliling semak bunga.”
Tiba-tiba saja Ambia teringat Aulia. Kembarannya yang selalu menengok kebun bunga mereka setiap hari. Memastikan menyiram mereka, memberi pupuk sedikitnya seminggu sekali, dan menghabiskan banyak waktu mencabuti tanaman liar meski panas matahari menyengat. Sementara dirinya?
Ambia belum sempat mengatakan apapun ketika tiba-tiba tercium aroma harum di udara. Seperti bunga melati dan bolu kukus yang baru saja matang.
“Flamboisine datang!”
Bersama dengan seruan itu, Ambia menatap sosok gadis yang muncul di hadapannya. Kulitnya berkilau seperti sinar rembulan, sepasang sayap bergemerisik di punggungnya. Kepalanya dihiasi aneka bunga warna-warni – ada merah, kuning, jingga, ungu, dan putih. Ambia mengenal jenis bunga itu. Aulia pernah membuat satu rangkai penuh untuk ulang tahun Kepala Sekolah.
“Ini bunga flamboyan. Ratunya para bunga,” ucap Aulia saat itu.
Suara Flamboisine mengembalikan Ambia dari lamunannya. Peri itu mengucapkan terima kasih atas kerja keras para capung sepanjang hari ini. Suaranya terdengar merdu.
“Semoga bunga-bunga yang kalian bantu hari ini akan mekar dengan indah. Ini sekaligus akan menjadi tanda terima kasih untuk para manusia yang ikut merawat mereka.” Flamboisine tersenyum mengakhiri pesannya. Untuk sesaat, mata peri bunga itu beradu dengan mata Ambia. Senyum hangatnya membuat Ambia merindukan Aulia. Tiba-tiba saja, Ambia merasakan kantuk teramat sangat.
**
“Hei, Ambia .. bangun …”
Ambia merasakan guncangan pelan. Ketika membuka mata, ia mendapati Aulia memandangnya khawatir.
“Kamu baik-baik saja? Aku mendengar teriakanmu tadi.”
Ambia mengabaikan pertanyaan Aulia. Ia menatap tangannya yang sudah kembali seperti semula, begitu pula kepala dan tubuhnya. Sambil bersorak gembira, Ambia memeluk Aulia, membuat kembarannya tersebut heran bukan buatan.
Namun, ada yang lebih mengherankan. Sejak hari itu, Ambia tidak pernah mengusili Aulia lagi. Gadis itu tidak sembarang memetiki bunga atau sekedar duduk-duduk menonton kesibukan Aulia. Sebaliknya, dengan penuh semangat Ambia membantu Aulia merawat kebun bunga mereka.