Saturday 11 March 2017

Cita-Cita Komi



dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung, Februari 2017.

Nika memandang bola yang melayang di depannya dengan cemas. Ia menutup kedua matanya ketika lagi-lagi bola tersebut membentur tiang gawang.
“HIH!!” sesuai perkiraan, Komi, sahabatnya berseru kesal. Ia menghentakkan kaki, berjalan ke arah Nika. “Kamu gimana sih, benar nggak begitu cara menendangnya?”
Hampir seminggu ini, Nika menemani Komi berlatih menendang. Sahabat sejak kecilnya itu memang bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Besok, ia akan mengikuti seleksi menjadi penyerang untuk klub bola sekolah. Namun dari sepuluh tendangan jarak jauh, Komi  belum membuat satu gol pun. Bukan hanya tendangannya yang meleset, terkadang bolanya bahkan tidak mencapai area sekitar gawang.
Nika menarik nafas panjang. Ia menyodorkan buku Teknik Bermain Bola untuk Pemula. “Nih, kamu lihat sendiri. Untuk tendangan jarak jauh, kamu harus menendang dengan kaki bagian dalam,” kata Nika sambil menunjuk salah satu gambar di halaman tersebut.
Komi mengacak-acak rambut ikalnya dengan frustasi. “Susah! Ini nggak segampang yang terlihat di gambar! Coba Ayah lagi ada di sini, aku bisa minta diajari cara menendang yang benar.”
Komi masih terus menggerutu. Sementara Nika yang biasanya mendengarkan dengan sabar, justru malah lari menghampiri seorang pria yang berjalan memasuki lapangan.
“Paman Andre!” teriak Nika gembira. “Kapan Paman datang?”
Paman Andre mengusap kepala Nika penuh sayang. “Hai, Nika. Baru saja. Papa bilang Nika lagi rajin latihan bola setiap sore. Paman jadi penasaran ingin melihat langsung. Sejak kapan kamu main bola, Nak?”
Nika terkikik geli. “Paman datang di saat yang tepat, sahabat Nika butuh bantuan!”
***
Komi memandang Paman Andre dengan takjub. Matanya melebar menatap bola yang meluncur secepat gasing, berbelok tak jauh dari tiang gawang, dan membentur jaring dengan keras. Ini tendangan kelima, dan semuanya selalu berhasil menembus gawang.
“Paman pemain sepak bola, ya?” tanya Komi penasaran setelah Paman Andre melakukan sepuluh tendangan yang sempurna menembus gawang. “Paman latihan di mana?”
Nika tertawa geli mendengar pertanyaan Komi. “Pamanku ini calon pastor, loh.”
“Hah?” Komi menatap keduanya tak percaya.
Paman Andre mengedipkan mata membenarkan jawaban Nika. Ia pun menambahkan, “Paman rajin latihan di seminari.”
“WOW! Ini keren! Aku belum pernah bertemu calon pastor secara langsung, apalagi diajari main bola. Seminari itu tempat para calon pastor belajar ya, Paman? Di sana bisa main bola juga? Asyik dong? Oh ya, kenapa Paman mau jadi Pastor? Pastor itu nggak boleh menikah, kan?”
Nika menyikut pinggang Komi. “Kamu ini semangat sekali. Bertanyalah satu-satu.”
Paman Andre tertawa. “Kamu tertarik jadi pastor juga, Komi?”
“Mungkin, Paman. Aku suka melihat jubah pastor yang berkibar-kibar waktu memimpin Ekaristi. Aku bahkan pernah mimpi memimpin Ekaristi sendiri, loh. Tapi Paman, jadi pastor itu susah nggak sih?”
Paman Andre menggeleng. “Menyenangkan. Dan kamu tahu tidak? Dulu, paman juga sepertimu, kagum pada pastor yang sedang memimpin Ekaristi. Menyukai jubah mereka. Lalu, Paman mendaftar jadi Putra Altar. Sejak itu, Paman aktif terlibat di gereja. Paman pun memutuskan melanjutkan belajar ke seminari.”
Sore itu, Nika dan Komi asyik mendengarkan cerita Paman Andre di seminari. Bergantian dengan para frater memimpin misa pagi, menyiapkan sarapan bersama, belajar agama, berlatih menyanyi setiap Rabu malam, bermain musik, sampai berolahraga.
“Sesekali, Paman juga membantu warga bekerja bakti atau mengunjungi dan mendoakan orang sakit.”
Nika dan Komi memandang wajah Paman Andre yang berseri-seri sepanjang bercerita. Mereka sangat kagum, terutama ketika Paman Andre mengatakan bahwa ia selalu berusaha melakukan yang terbaik di seminari dan pada akhirnya semakin yakin akan keputusannya menjadi seorang pastor.
Setelah Paman Andre pamit untuk pergi ke warung kelontong Pak Yohan, Nika dan Komi masih duduk berbincang di tepi lapangan.
“Ternyata, jadi pastor itu asyik ya, Nika.”
Nika menoleh. Menatap mata Komi yang jauh menerawang.
 “Jadi kamu mau jadi pastor? Bukan pemain bola lagi?”
“Hmm…,” Komi tampak berpikir sejenak. “Aku belum tahu, Nika. Tapi seperti kata Paman Andre tadi, aku mau melakukan hal yang kusukai sebaik mungkin. Dari situ, kita akan tahu jawabannya.”
Nika mengangguk setuju. “Semoga besok kamu lolos seleksi. Lalu kamu bisa jadi pastor yang juga jago main bola.”
Komi terbahak. “Boleh juga.”
Mereka berdua lalu tertawa bersama.
***


No comments:

Post a Comment