Nika memandang bola
yang melayang di depannya dengan cemas. Ia menutup kedua matanya ketika
lagi-lagi bola tersebut membentur tiang gawang.
“HIH!!” sesuai
perkiraan, Komi, sahabatnya berseru kesal. Ia menghentakkan kaki, berjalan ke
arah Nika. “Kamu gimana sih, benar nggak begitu cara menendangnya?”
Hampir seminggu ini,
Nika menemani Komi berlatih menendang. Sahabat sejak kecilnya itu memang
bercita-cita menjadi pemain sepak bola. Besok, ia akan mengikuti seleksi menjadi
penyerang untuk klub bola sekolah. Namun dari sepuluh tendangan jarak jauh,
Komi belum membuat satu gol pun. Bukan
hanya tendangannya yang meleset, terkadang bolanya bahkan tidak mencapai area
sekitar gawang.
Nika menarik nafas
panjang. Ia menyodorkan buku Teknik
Bermain Bola untuk Pemula. “Nih, kamu lihat sendiri. Untuk tendangan jarak
jauh, kamu harus menendang dengan kaki bagian dalam,” kata Nika sambil menunjuk
salah satu gambar di halaman tersebut.
Komi mengacak-acak
rambut ikalnya dengan frustasi. “Susah! Ini nggak segampang yang terlihat di
gambar! Coba Ayah lagi ada di sini, aku bisa minta diajari cara menendang yang
benar.”
Komi masih terus
menggerutu. Sementara Nika yang biasanya mendengarkan dengan sabar, justru
malah lari menghampiri seorang pria yang berjalan memasuki lapangan.
“Paman Andre!” teriak
Nika gembira. “Kapan Paman datang?”
Paman Andre mengusap
kepala Nika penuh sayang. “Hai, Nika. Baru saja. Papa bilang Nika lagi rajin
latihan bola setiap sore. Paman jadi penasaran ingin melihat langsung. Sejak
kapan kamu main bola, Nak?”
Nika terkikik geli.
“Paman datang di saat yang tepat, sahabat Nika butuh bantuan!”
***
Komi memandang Paman
Andre dengan takjub. Matanya melebar menatap bola yang meluncur secepat gasing,
berbelok tak jauh dari tiang gawang, dan membentur jaring dengan keras. Ini
tendangan kelima, dan semuanya selalu berhasil menembus gawang.
“Paman pemain sepak
bola, ya?” tanya Komi penasaran setelah Paman Andre melakukan sepuluh tendangan
yang sempurna menembus gawang. “Paman latihan di mana?”
Nika tertawa geli
mendengar pertanyaan Komi. “Pamanku ini calon pastor, loh.”
“Hah?” Komi menatap
keduanya tak percaya.
Paman Andre mengedipkan
mata membenarkan jawaban Nika. Ia pun menambahkan, “Paman rajin latihan di
seminari.”
“WOW! Ini keren! Aku
belum pernah bertemu calon pastor secara langsung, apalagi diajari main bola.
Seminari itu tempat para calon pastor belajar ya, Paman? Di sana bisa main bola
juga? Asyik dong? Oh ya, kenapa Paman mau jadi Pastor? Pastor itu nggak boleh
menikah, kan?”
Nika menyikut pinggang
Komi. “Kamu ini semangat sekali. Bertanyalah satu-satu.”
Paman Andre tertawa.
“Kamu tertarik jadi pastor juga, Komi?”
“Mungkin, Paman. Aku
suka melihat jubah pastor yang berkibar-kibar waktu memimpin Ekaristi. Aku
bahkan pernah mimpi memimpin Ekaristi sendiri, loh. Tapi Paman, jadi pastor itu
susah nggak sih?”
Paman Andre menggeleng.
“Menyenangkan. Dan kamu tahu tidak? Dulu, paman juga sepertimu, kagum pada
pastor yang sedang memimpin Ekaristi. Menyukai jubah mereka. Lalu, Paman
mendaftar jadi Putra Altar. Sejak itu, Paman aktif terlibat di gereja. Paman
pun memutuskan melanjutkan belajar ke seminari.”
Sore itu, Nika dan Komi
asyik mendengarkan cerita Paman Andre di seminari. Bergantian dengan para
frater memimpin misa pagi, menyiapkan sarapan bersama, belajar agama, berlatih
menyanyi setiap Rabu malam, bermain musik, sampai berolahraga.
“Sesekali, Paman juga
membantu warga bekerja bakti atau mengunjungi dan mendoakan orang sakit.”
Nika dan Komi memandang
wajah Paman Andre yang berseri-seri sepanjang bercerita. Mereka sangat kagum,
terutama ketika Paman Andre mengatakan bahwa ia selalu berusaha melakukan yang
terbaik di seminari dan pada akhirnya semakin yakin akan keputusannya menjadi
seorang pastor.
Setelah Paman Andre
pamit untuk pergi ke warung kelontong Pak Yohan, Nika dan Komi masih duduk
berbincang di tepi lapangan.
“Ternyata, jadi pastor
itu asyik ya, Nika.”
Nika menoleh. Menatap
mata Komi yang jauh menerawang.
“Jadi kamu mau jadi pastor? Bukan pemain bola
lagi?”
“Hmm…,” Komi tampak
berpikir sejenak. “Aku belum tahu, Nika. Tapi seperti kata Paman Andre tadi,
aku mau melakukan hal yang kusukai sebaik mungkin. Dari situ, kita akan tahu
jawabannya.”
Nika mengangguk setuju.
“Semoga besok kamu lolos seleksi. Lalu kamu bisa jadi pastor yang juga jago
main bola.”
Komi terbahak. “Boleh
juga.”
Mereka berdua lalu
tertawa bersama.
***
No comments:
Post a Comment