Wednesday, 30 March 2016

Bukumu Ada di Rak Apa?



Membaca kata marketing di jadwal acara pertama kali, sesungguhnya saya nggak terlalu semangat. Bukan, bukan jahat tapi karena saya sadar saya nggak punya bakat jualan. *entah berapa banyak toko online yang tutup sia-sia di tangan saya wkwk. 
 
Eh tapi, sesi marketing yang dibawain Mas Achonk ini memberi pencerahan dan memberi saya banyak pengetahuan baru dari sudut pandang marketing. Materi Marketing ini dibuka dengan pembawaan Mas Achonk yang semangat dan ceria, “Kalian tahu nggak alur buku di toko?”
 
Ih, saya langsung duduk tegak. Sebagai orang yang rajin absen ke toko buku, minimal seminggu sekali..saya ngeh sama rak new release, rak best seller, rak biasa dengan buku-buku yang berantakan, sampai buku yang menumpuk di lantai *paling sedih kalo liat yang ini. Entah bukunya baru dateng belum sempat disusun atau lagi mau dimasukkin gudang.

Jadi, kata Mas Achonk, sebelum buku kita itu masuk ke toko buku besar, katakanlah si G, orang marketing akan membawa buku tersebut ke bagian MDO (saya nggak sempet nyatet kepanjangan dari apa). Pokonya, tugas MDO ini mereview dan memutuskan apakah buku yang bersangkutan bisa dijual di tokonya. Dalam sebulan, biasanya ada 150 judul fiksi yang antri di MDO. Kalau lolos, G akan pre-order. Lalu buku-buku yang datang masuk gudang untuk diberi barcode harga. Setelah itu, mendaratlah buku itu dengan manis di rak new release *tepuk tangan. Padahal, perjuangan baru dimulai wkwkwk …
 
Di new release, buku kita harus terjual sebanyak 10 eksemplar dalam waktu satu minggu. Maka disini, nasib si buku hanya ada dua : laku 10 eksemplar selama tiga minggu berturut-turut dan pindah ke rak best seller- yang ngomong-ngomong kalau Best Seller pun, perjuangan juga belum selesai, sih. Targetnya dalam satu minggu harus terjual 20 eksemplar.
ATAU
Nggak bisa memenuhi penjualan target mingguan tersebut. 

Kalau nggak sesuai, ya pindah ke rak biasa. Perjuangan belum berakhir, karena rak biasa pun memiliki target, sosodara. Dalam satu minggu, buku kita harus terjual lima eksemplar. Kalau nggak laku juga? Yah, dibalikkin ke penerbit –untuk dicacah, kata Pak Edi *langsung shock hahaha. 
Nggak lah. Sebelum dicacah itu, kan buku-buku kita diretur tuh sama G. Maka, tim marketing akan mulai memasuki toko-toko buku tradisional semacam Toga Mas, Gunung Agung, dan kawan-kawannya. Kalau nggak, ya masuk grade sale, dimana harga buku bisa turun sampai setengahnya. Saya kurang paham hitung-hitungan grade sale ini, mungkin nanti saya tanya lebih lanjut ke Mas Achonk.
 
Selesai membahas alur buku, siapa yang menyangka Mas Achonk akan berbagi cerita tentang cara menemukan ide dari sudut pandang marketing. Caranya? Jeli melihat pasar. Buku apa yang lagi ramai dibaca? Topik apa yang lagi diangkat? Apakah ada kondisi yang dapat mendukung terbitnya bukumu, semisal hari raya agama, tes masuk CPNS, atau ujian sekolah. Mas Achonk sendiri dengan baik hati mau berbagi informasi tentang data buku-buku yang laku di pasaran. Semacam list fiksi terbaik, nonfiksi, atau buku jenis apa yang paling laku di pasaran. Semua yang berkaitan dengan data dan angka. Seperti yang Jeff Bezos bilang, manusia boleh bohong, tapi data nggak pernah salah. Dan Amazon bisa jadi toko online terbesar dengan memanfaatkan data-data yang ada. *Eh, ini kok jadi serius gini, ya? 

Jadi begitulah.. Sekali lagi saya menyadari bahwa menjadi penulis itu memang nggak bisa sendirian. Ada penerbit, editor, redaksi, sampai marketing di sekitarmu. Kabar baiknya, mereka akan selalu siap membantu.
 
Yuk, kita terus berkarya!

No comments:

Post a Comment