Cerita ini telah dimuat di Majalah Komunikasi Keuskupan Bandung, 14 Oktober 2017.
Seandainya aku bisa
menulis, aku pasti akan mencatat setiap hari yang kulalui bersama Maria. Sebab,
hari-hari bersamanya adalah saat paling menyenangkan dan mengagumkan. Saat
terindah dalam hidupku, terutama tiga hari istimewa yang akan kuceritakan
kepadamu sekarang.
Hari istimewa pertama
kuingat sebagai Hari Kejutan. Apakah kamu pernah mengalaminya? Sesuatu terjadi
secara tiba-tiba dan hidupmu berubah. Itulah yang kualami bersama Maria. Hari
itu seperti biasa, aku menemaninya pergi berdoa, mengambil air, menenun, dan
membaca Alkitab. Tiba-tiba cahaya terang memenuhi ruangan. Malaikat Gabriel
berdiri di hadapan kami. Ia berkata bahwa Maria akan mengandung seorang bayi
yang berasal dari Allah. Ia harus menamai bayi itu Yesus. Seperti
kedatangannya, tiba-tiba saja malaikat itu menghilang. Namun, Maria memutuskan
untuk percaya. Ia tidak menghiraukan perkataan orang. Aku memandangnya kagum.
Hari itu, Maria mengajarkanku keberanian untuk menjawab panggilan Allah.
Hari istimewa kedua
kuingat sebagai Hari Kelahiran Sukacita.
Saat itu aku, Maria, dan suaminya Yusuf harus pergi ke Betlehem untuk
sensus penduduk. Maria terlihat kelelahan dan kesakitan, perutnya sudah semakin
membesar. Sayangnya, semua penginapan penuh. Kami akhirnya boleh beristirahat
di sebuah kandang. Kakiku yang terasa sakit tidak kuhiraukan karena mendengar
jerit kesakitan Maria. Rupanya si bayi tidak mau menunggu kami kembali ke
rumah. Ia memutuskan lahir saat itu. Setelah waktu yang terasa panjang,
tangisnya pun terdengar. Aku tidak akan melupakan wajah Maria dan Yusuf saat
itu. Meski terlihat lelah, kedua mata mereka berbinar bahagia. Hari itu, Maria
mengajarkanku tentang keteguhan iman kepada perlindungan Allah.
Hari istimewa ketiga
kuingat sebagai Hari Kenaikan ke Surga. Hari itu, hatiku sungguh hancur mengikuti
langkah-langkah berat Maria. Di depan kami, orang-orang menghina, memukul,
bahkan menanggalkan pakaian Yesus. Aku merasakan genggaman tangan Maria semakin
erat pada tali kekangku. Mulutnya terus menggumam, “Aku percaya akan rencana
Allah.” Aku meringkik halus dan menanduk bahunya lembut. Hari itu, Maria
mengajarkanku tentang kepasrahan diri secara total kepada kehendak Allah.
Setelah Yesus pergi, hari
berjalan seperti biasa. Aku kembali menemani Maria berdoa, mengambil air,
menenun, dan membaca Alkitab. Namun ada yang berbeda. Terkadang aku menemani
Maria duduk mengobrol dengan para rasul dan para pengikut Yesus lainnya. Mereka
seringkali meminta nasihat dan doa. Sejak itu, aku lupa tepatnya, Maria mulai
dipanggil Bunda Gereja. Dan aku? Aku tetap Kalei, keledainya yang setia.
sumber gambar |
No comments:
Post a Comment