Dimuat di Soca-Sinar Harapan, 25 Juni 2015. |
Hari
ini jadwal pergi ke toko roti tiba, Safira si Roti Biasa tampak gelisah.
“Apakah
aku istimewa?” begitu pertanyaan Safira si Roti Biasa selalu pada dirinya.
Matanya melirik takut-takut kepada para roti yang sedang saling menyombongkan
diri .
“Harumku
paling menggoda. Manusia tak akan tahan untuk tidak membeliku,” kata Koko si Roti
Kopi dengan dagu terangkat.
Keija
si Roti Keju maju, berusaha ikut dalam pembicaraan, “Ya, meski begitu, bentukku
yang paling cantik,” katanya sambil memutar tubuhnya yang berbentuk segitiga
dengan renda-renda pada bagian bawah tubuhnya, “Manusia sangat mudah tertarik
padaku. Selain itu, kandungan keju dalam tubuhku menyehatkan tulang dan gigi,”
tambahnya lagi.
“Kupikir,
aku lebih menarik darimu,” seru Chika si Roti Kacang menimpali Keija si Roti
Keju, “Lihatlah dua lubang dalam tubuhku. Anak-anak senang sekali berpura-pura
menjadikanku kacamata,” ucapnya bangga tentang bentuknya yang seperti angka
delapan.
Bebi
si Roti Blueberry terkikik geli, “Kurasa, yang penting adalah rasa. Manusia
sangat menyukai isi tubuhku yang manis menyegarkan!”
Tanpa
sadar, Safira si Roti Biasa menghela nafas panjang mendengar pembicaraan mereka
yang semakin seru. Ia memandang tubuhnya yang bulat kecoklatan. Tidak ada renda
manis di bagian bawah tubuhnya, tidak ada lubang, bahkan harumnya pun biasa
karena ia tidak berisi apa-apa. Sering Safira berpikir untuk apa ia diciptakan?
Tidak ada yang istimewa dalam dirinya. Ia tidak sempurna. Ia bahkan tidak memiliki
teman baik. Ah, jangankan teman baik, ia bahkan tidak dapat ikut berbicara
bersama roti-roti lain.
Suara
decit ban mobil menghentikan lamunan Safira.
“Waktunya
pergi ke toko rotiiii!!” teriak para roti dengan gembira, sementara Safira
menyembunyikan dirinya di balik oven pemanggang, berharap tidak ditemukan.
“Hei,
roti biasa, ayo ikut! Kau tidak ingin tinggal disini dan dimakan tikus kan?”
kata Keija si Roti Keju saat melewatinya.
“Haha,
berharap saja kau tidak dimakan tikus di toko roti karena tidak ada yang
membelimu,” tambah Bebi si Roti Blueberry sambil tertawa geli.
Koko
si Roti Kopi yang mendengar hal tersebut, ikut tertawa terbahak-bahak, “Hahaha,
itu akan lucu sekali! Gratis dimakan tikus!”
Mata
Safira berkaca-kaca. Saat itu juga, ia membenci perbedaan yang ada. Perbedaan
yang terasa menjauhkan.
***
Sepanjang
perjalanan ke toko roti, Safira berdiam diri. Hari itu, mobil roti penuh oleh
berbagai jenis roti dari beberapa pabrik. Mereka semua berebut saling bicara
dan membanggakan diri.
Tiba-tiba,
Safira mencium wangi gandum yang menguar di udara bersamaan dengan sebentuk
wajah lembut yang menyapanya ceria, “Hai! Mengapa kau terlihat lesu? Bolehkah
aku duduk di sampingmu?”
Safira
mengangguk.
“Namaku
Sari si Roti Istimewa,”lanjutnya dengan senyum ceria yang tak pernah lepas dari
wajahnya.
“Aku
Safira si Roti Biasa,”
Sari
menaikkan satu alisnya memperhatikan Safira, “Lalu, mengapa kau terlihat
bersedih? Tidakkah kau gembira akhirnya bisa pergi ke toko roti?”
Lalu,
dengan penuh semangat, Sari menceritakan keindahan toko roti. Rak tinggi yang
penuh dengan berbagai roti. Kemasan warna-warni. Denting pintu saat para
pembeli datang. Dan tentu saja, berbagai jenis manusia.
“Tua
muda, besar kecil. Mereka selalu tersenyum saat membeli roti. Kau tahu kenapa?
Karena mereka ingin memberikan roti kepada orang-orang yang mereka sayangi. Oh
ya, roti istimewa selalu menjadi favorit. Manusia bisa menambahkan toping
kesukaan mereka. Kau sebut saja : coklat, keju, strawberry, blueberry, kacang.
Dan, kebahagiaan mereka pun menjadi berlipat ganda,” cerita Sari tanpa jeda, tangannya
ikut bergerak-gerak membantu menjelaskan dengan semangat.
Safira
mendesah, “Betapa beruntungnya dirimu menjadi roti istimewa. Aku hanyalah roti
biasa. Apakah ada yang akan membeliku?”
“Apa
katamu?” teriak Sari tidak percaya, “Tidakkah kau lihat betapa miripnya kita??”
Untuk
pertama kalinya, Safira memperhatikan tubuh Sari yang berbentuk bulat seperti
dirinya. Tanpa renda, tanpa lubang, bahkan warna mereka yang kecoklatan pun
sama!
“Kau
bukan roti biasa. Percayalah!” kata Sari lagi saat akhirnya mobil mereka
berhenti di depan toko roti.
Di
toko roti, Safira disimpan di rak paling depan bersama banyak roti isi yang
lain. Satu per satu pengunjung datang dan mengambil roti di kiri-kanan Safira.
“Ma, aku mau roti ini ya biar aku bisa isi
rasa yang berbeda setiap hari!” seru seorang anak sambil mengangkat tubuh
Safira dan memandangnya dengan penuh keinginan.
Safira
tersenyum hangat dalam genggaman tangan anak tersebut. Ia tidak lagi membenci
perbedaan, ia hanya harus bisa mencari keistimewaannya.
Sebelum
meninggalkan toko roti, Safira menoleh dan melihat Sari mengedipkan matanya.
Teman baik pertamanya itu masih sempat berbisik, “Ingatlah selalu, kau adalah
Safira si Roti Istimewa.”
No comments:
Post a Comment