Wednesday 30 March 2016

Bercerita itu Berestetika – Edi Akhiles



Hari kedua di Kampus Fiksi, materi pertama dibuka oleh Pak Edi- pemilik sekaligus CEO Diva Press. Judul materinya : Teknik Penulisan.

Materi Pak Edi mencangkup dunia penulisan secara umum. Nggak hanya membahas teknik-teknik penulisan yang dibahas satu per satu - mulai dari ide, tema, tokoh, setting, kalimat, sampai frasa- tetapi juga “profesi” penulis dan kegiatan menulis itu sendiri pun dibahas.

Jadi gini, kabar baiknya, “Penulis itu keren. Ia memiliki pengetahuan di atas rata-rata di bidang yang ia minati.” (garis bawahi pada kata “bidang yang ia minati”). Jadi, nggak segala tahu.
Kabar buruknya, “Banyak penulis muda di luar sana yang tertarik menulis. Lalu apa keuntungannya buat saya kalau kalian berhasil menulis novel? Paling-paling nambahin retur. Kalian coba ke gudang Diva, banyak sekali tumpukan buku di sana. Dan banyak juga yang berasal dari para alumni.”
T_T Jatuh saat itu juga. 

Itu kata Pak Edi, loh. Sepanjang bertemu Beliau – baik waktu materi atau penutupan, saya mendapati begitulah Beliau, apa adanya. Tegas, jujur, dan realistis. Meski mungkin terdengar kejam, saya pikir Beliau justru membuka mata para penulis muda (atau pemula?) dengan membagikan realitas di luar sana, berdasarkan pengalamannya. Bahwa penulis boleh saja idealis, tapi ada pembaca di luar sana. Bahwa buku itu ya seringnya bergandengan dengan kata “industri.” Bahwa .. yah, kejujuran itu memang menyakitkan. Dan intinya, bahwa perjuanganmu masih panjang, Nak. Wkwk…(Kok malah ngelawak).

Tapi tapi, saya pikir salah satu pandangan Beliau bisa membantu kita untuk survive. Dua kata yang selalu nggak pernah bosan Beliau ingatkan kepada para peserta Kampus Fiksi : Good Attitude. Bahwa sehebat apapun kamu atau tulisanmu, semua kembali pada pribadimu. Maka, nggak hanya karyamu yang harus indah, tetapi juga pribadimu. Percuma karyamu laku di pasaran, kalau sifatmu jelek (kasarnya). Dan Pak Edi pun berbagi cerita hubungan-hubungan para penulis terutama dengan penerbitnya. Yang hilang setelah MoU ditandatangan, yang ngeyel saat revisi, yang sombong, dan lain-lain. Dan tiba-tiba saya mendapat gambaran si penulis dari sudut pandang penerbit. Berdoa dalam hati, supaya saya jangan gelap mata kaya gitu. Sudah cukup saya gelap mata setiap diiming-imingi buku. Haha …

Nah, estetika pribadi itu urusan masing-masing, ya. Berhubung saya pun nggak sempurna, saya nggak bisa bantu. Saya bantu karya aja deh, berdasarkan sharing materi Pak Edi kemarin.
  • Menulis itu hanya tentang dua hal : ide dan teknik. Tambahkan imajinasi, ia memegang peranan vital untuk ceritamu- karena tidak ada tema baru, yang ada hanyalah sudut pandang mana yang kau pakai untuk menghasilkan cerita baru?
  • Imajinasi berarti kemampuan memproyeksikan yang tidak ada menjadi ada. Hal ini akan berbanding lurus dengan jumlah bacaan, pergaulan, dan diskusi yang kamu ikuti.
  • Menulis fiksi itu sangat bebas, kecuali “cacat logika.” Misalnya, tokoh ceritamu pergi dari Bandung ke Jakarta selama 6 jam, padahal Bandung-Jakarta bisa ditempuh dalam waktu 2 jam saja. Riset! Menulis fiksi memang sangat bebas, tapi bukan berarti mudah J
  • Salah satu “kebebasan” dalam menulis fiksi adalah membuat kalimat yang lincah. Itu berarti, jangan terjebak SPOK. Jungkir-balikkan! *siap, Komandan!
  • Gunakan juga metafora (analogi) dalam membuat kalimat. Untuk menghancurkan kalimat yang monoton, kamu bisa menyelipkan setting. Contoh : “Kuketuk pintu. Bintang-bintang gemerlap. Pintu terkuak.”
  • Apa itu frasa? Saya termasuk yang awam sama istilah ini, tapi rupanya udah sering pakai *lirik cerpen di atas meja. Jadi, kalimat minimal itu kan terdiri dari Subjek dan Predikat. Nah, frasa itu tidak punya predikat. Frasa biasa dijadikan snapshot dengan tujuan untuk menguatkan kalimat sebelumnya. Misal : Riga mengepalkan kedua tangannya. Geram.
  • Seringkali, para penulis disibukkan dengan alur cerita sampai mengabaikan tokohnya, Padahal, detail-detail tokoh itu berharga juga, loh. Manfaatkan psikologi tokoh, suasana batin, sampai aksesori yang ia pakai untuk memperkuat cerita. Intinya, bangun totalitas karakter dan ingatlah untuk selalu konsisten!
  • Tak hanya tokoh, setting pun memegang peranan yang penting. Dari dulu, saya selalu bingung “Setting yang nggak bisa diganti” itu yang kaya apa, sih? Rasanya, saya belum terlalu ribet sama riset setting kalo lagi bikin cerita. Di sesi ini, Pak Edi kasih contoh. Setting yang nggak bisa diganti itu adalah setting yang detail. Nggak cuma jadi tempelan. Misalnya, bikin adegan tokoh A makan roti di kota Bandung. Kota Bandung, bisa diganti jadi kota apa aja. Toh, nggak ada keterangan lebih lanjut. Beda ceritanya kalau kita bilang “Tokoh A makan roti di kota yang sejak dulu dikenal dengan nama Paris van Java.” Nah, jelas cuma Bandung itu. (Semoga contohnya bener, kalo salah ya maklum masih belajar. Kalo nggak jelas, yaaa… pokoknya semacam itu. Hehe).
  • Terakhir, karyamu menjadi indah karena kekayaan diksi yang kamu miliki. Bosan juga kan ya, kalau pakai kata yang itu-itu aja. Beruntunglah, Pak Edi mau berbagi tips cara memperkaya diksi :
1)      Temukan diksi menarik dari bacaan
2)      Tulis di kertas, memo, buku, apa saja. Gunakan.
3)      Bebaskan kata dari makna. Misalnya, ada kalimat “Mata menusuk.” Padahal mata kan nggak menusuk, ya? Tapi ya nggak apa-apa, selama disepakati, logis. Kalau Pak Edi bilang, “Bahasa itu konsensus, kesepakatan.” Kalau “Mata menyetrika,” nah, itu baru aneh.

Selamat bercerita kembali, ya!

No comments:

Post a Comment